Wednesday, March 24, 2010

Metode-Metode Evaluasi Proyek

Keputusan investasi merupakan keputusan manajemen keuangan yang paling penting di antara ketiga keputusan jangka panjang yang diambil manajer keuangan. Disebut penting, karena
selain penanaman modal pada bidang usaha yang membutuhkan modal yang besar, juga keputusan tersebut mengandung risiko tertentu, serta langsung berpengaruh pada nilai perusahaan. Pada umumnya, langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam pengambilan keputusan investasi adalah sebagai berikut:
  1. Adanya usulan investasi (proposal investasi).
  2. Memperkirakan arus kas (cash flow) dari usulan investasi tersebut.
  3. Mengevaluasi profitabilitas investasi dengan menggunakan beberapa metode penilaian kelayakan investasi.
  4. Memutuskan menerima atau menolak usulan investasi tersebut.
Untuk menilai profitabilitas rencana investasi dikenal dua macam metode, yaitu metode konvensional dan metode nonkonvensional (discounted cash flow). Dalam metode konvensional
dipergunakan dua macam tolok ukur untuk menilai profitabilitas rencana investasi, yaitu payback period dan accounting rate of return, sedangkan dalam metode non-konvensional dikenal tiga macam tolok ukur profitabilitas, yaitu Net Present Value (NPV), Profitability Index (PI), dan Internal Rate of Return (IRR).

1. Metode Payback Period (PP)

Payback period adalah suatu metode berapa lama investasi akan kembali atau periode yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi (initial cash investment) dengan menggunakan aliran kas, dengan kata lain payback period merupakan rasio antara initial cash investment dengan cash flownya yang hasilnya merupakan satuan waktu. Suatu usulan
investasi akan disetujui apabila payback period-nya lebih cepat atau lebih pendek dari payback period yang disyaratkan oleh perusahaan.


Metode payback period merupakan metode penilaian investasi yang sangat sederhana perhitungannya, sehingga banyak digunakan oleh perusahaan. Tetapi di lain pihak metode ini mempunyai kelemahan-kelemahan, yaitu:
  1. Tidak memperhatikan nilai waktu uang.
  2. Mengabaikan arus kas masuk yang diperoleh sesudah payback period suatu rencana investasi tercapai.
  3. Mengabaikan nilai sisa (salvage value) investasi.

Meskipun metode payback period memiliki beberapa kelemahan, namun metode ini masih terus digunakan secara intensif dalam membuat keputusan investasi, tetapi metode ini tidak digunakan sebagai alat utama melainkan hanya sebagai indikator dari likuiditas dan risiko investasi.

Keunggulan metode payback period adalah sebagai berikut:
  1. Perhitungannya mudah dimengerti dan sederhana.
  2. Mempertimbangkan arus kas dan bukan laba menurut akuntansi.
  3. Sebagai alat pertimbangan risiko karena makin pendek payback makin rendah risiko kerugian.
2. Metode Net Present Value (NPV)

Secara umum ada anggapan bahwa metode net present value merupakan kriteria seleksi kuantitatif yang paling baik sehingga paling sering digunakan untuk menilai kelayakan suatu usulan investasi. Namun ada kalanya perusahaan dalam proses pembuatan keputusan investasi tidak hanya menggunakan metode net present value tetapi juga menggunakan metodemetode
lainnya secara bersama-sama. Metode ini adalah metode yang mengurangkan nilai
sekarang dari uang dengan aliran kas bersih operasional atas investasi selama umur ekonomis termasuk terminal cash flow dengan initial cash flow (initial investment).

Metode ini memperhatikan nilai waktu uang, maka arus kas masuk (cash inflow) yang digunakan dalam menghitung net present value (nilai sekarang bersih) adalah arus kas masuk yang didiskontokan atas dasar discount rate tertentu (biaya modal, opportunity cost, tingkat bunga yang berlaku umum). Selisih antara present value penerimaan kas dengan present value pengeluaran kas dinamakan Net Present Value.
Kriteria keputusan:
􀁸 Jika NPV bertanda positif (NPV > 0), maka rencana investasi diterima.
􀁸 Jika NPV bertanda negatif (NPV < 0), maka rencana investasi ditolak.

Keunggulan metode NPV Kelemahan metode NPV
  1. Memperhitungkan nilai waktu dari uang.
  2. Memperhitungkan arus kas selama usia ekonomis proyek.
  3. Memperhitungkan nilai sisa proyek.
  • Manajemen harus dapat menaksir tingkat biaya modal yang relevan selama usia ekonomis proyek.
  • Jika proyek memiliki nilai invetasi inisial yang berbeda, serta usia ekonomis yang juga berbeda, makaNPV yang lebih besar belum menjamin sebagai proyek yang lebih baik.
  • Derajat kelayakan tidak hanya dipengaruhi oleh arus kas, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor usia ekonomis proyek.

3. Metode Discount Payback Period

Untuk mengatasi salah satu kelemahan dari metode payback period, yaitu tidak memperhatikan nilai waktu uang, maka dicoba untuk memperbaiki metode tersebut dengan cara mempresent-valuekan arus kas masuk (cash inflow) dari rencana investasi tersebut kemudian baru dihitung payback period-nya. Dengan demikian arus kas yang dipakai adalah arus kas yang telah didiskontokan atas dasar cost of capital/interest rate/required rate of return atau opportunity cost.

4. Metode Internal Rate of Return

IRR adalah nilai discount rate i yang membuat NPV dari proyek sama dengan nol. Discount rate yang dipakai untuk mencari present value dari suatu benefit/biaya harus senilai dengan opportunity cost of capital seperti terlihat dari sudut pandangan si penilai proyek. Konsep dasar opportunity cost pada hakikatnya merupakan pengorbanan yang diberikan sebagai
alternatif terbaik untuk dapat memperoleh sesuatu hasil dan manfaat atau dapat pula menyatakan harga yang harus dibayar untuk mendapatkannya.

5. Modified Internal Rate of Return (MIRR)

IRR adalah suatu tingkat diskonto yang menyebabkan present value biaya (cash outflow) sama dengan present value nilai terminal, di mana nilai terminal adalah future value dari arus
kas masuk (cash inflow) yang digandakan dengan biaya modal. MIRR memiliki kelebihan dibandingkan IRR karena MIRR mengasumsikan arus kas dari proyek diinvestasikan kembali
(digandakan) dengan menggunakan biaya modal. Selain itu MIRR juga dapat menghindari masalah “multiple IRR” yang terjadi pada metode IRR.

6. Metode Profitability Index (PI)

Profitability index dapat dihitung dengan membandingkan antara PV kas masuk dengan PV kas keluar.

Kriteria penilaian PI adalah: jika nilai PI lebih besar dari 1, usulan proyek dinyatakan layak, sebaliknya jika PI lebih kecil dari 1 usulan proyek dinyatakan tidak layak.

Sunday, March 21, 2010

PROPERTI


PENGERTIAN PROPERTI
SK Menteri Perumahan Rakyat no. 05/KPTS/BKP4N/1995
Properti (real property) adalah tanah hak dan/atau bangunan permanen yang menjadi obyek pemilik dan pembangunan (Ps 1 a: 4)
Hukum Anglo Saxon (Common Law)
  1. Ownership or right to own something : hak memiliki sesuatu
  2. Anything which can be owned : segala sesuatu yang dapat dimiliki
  3. Real property : tanah dan bangunan
Hukum Positif Indonesia : KUH Perdata dan UU Pokok Agraria
  1. Benda tak Bergerak : tanah berikut benda lain yang ada di atasnya
  2. Benda bergerak : benda yang dapat dipindahkan, terdiri dari benda berwujud dan benda tak berwujud
Properti adalah konsep hukum. Pengertian real properti adalah hak perorangan atau badan hukum untuk memiliki dalam arti menguasai tanah dengan suatu hak atas tanah, misalnya Hak Milik atau Hak Guna Bangunan berikut bangunan (permanen) yang didirikan di atasnya atau tanpa bangunan. Pengertian tersebut perlu dibedakan antara penguasaannya secara fisik atas tanah dan/atau bangunan yang disebut real estate dan kepemilikannya sebagai konsep hukum (penguasaan secara yuridis), yaitu yang dilandasi dengan sesuatu hak atas tanah disebut real property.
Properti lain yang bukan real estate disebut “benda bergerak” atau personalty dan kepemilikannya disebut personal property. Istilah properti dapat berarti “real estate” atau “personalty”.
Dalam perkembangan dunia penilaian properti, sesuai IVS 2003 properti dikelompokkan menjadi empat jenis properti (property types) seperti berikut ini:
  • real property
  • personal property
  • businesses
  • financial interests

Jelaskan yang dimaksud dengan real property dan real estate! Apa perbedaan prinsip dari keduanya?

Real Property merupakan penguasaan yuridis atas tanah yang mencakup semua hak atas tanah (hubungan hukum dengan sebidang tanah tertentu), semua kepentingan (interests), dan keuntungan (benefit) yang berkaitan dengan kepemilikan Real Estate.
Real Estate dirumuskan sebagai tanah secara fisik dan benda yang dibangun oleh manusia yang menjadi satu kesatuan dengan tanahnya.
Perbedaan prinsipnya adalah real property merupakan penguasaan yuridis (non fisik), sedangkan real estate merupakan penguasaan fisik.

PENGERTIAN BIAYA, HARGA DAN NILAI

BIAYA adalah sejumlah uang yang harus disediakan untuk memproduksi atau menciptakan barang dan jasa.

HARGA adalah sejumlah uang yang disetujui pembeli untuk dibayarkan dan disetujui penjual untuk diterima di saat tertentu dan melalui mekanisme pasar yang wajar

NILAI adalah sejumlah uang yang setara dengan milik ( property ) yang dapat memberikan keuntungan dari kepemilikan tersebut

NILAI PASAR adalah perkiraan jumlah uang pada tanggal penilaian, yang dapat diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu aset, antara pembeli yang berminat membeli dengan penjual yang berminat menjual, dalam suatu transaksi bebas ikatan, yang penawarannya dilakukan secara layak, di mana kedua pihak masing-masing mengetahui, bertindak hati-hati dan tanpa paksaan. (SPI 0.5.39.1).

Empat faktor pembentuk nilai adalah :

Kegunaan

Kemampuan suatu properti untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan manusia, semakin berguna akan semakin tinggi nilainya

Kelangkaan

Kekurangan pasokan barang secara relatif terhadap permintaannya kan mempengaruhi nilai, semakin langka maka properti akan semakin tinggi nilainya.

Keinginan

Keinginan pembeli atas sebuah barang untuk memenuhi kebutuhan manusia, semakin tinggi keinginan manusia akan suatu properti maka nilainya akan tinggi

Daya Beli

Kemampuan dari individu atau kelompok untuk berpartisipasi di pasar dengan menyertakan uang tunai maupun sesuatu yang setara, semakin tinggi daya beli maka nilai properti akan semakin tinggi.

Standar Penilaian Indonesia 2007 menyatakan bahwa nilai adalah konsep
ekonomi yang merujuk pada hubungan finansial antara barang dan jasa yang tersedia
untuk dibeli dan mereka yang bersedia untuk membeli dan menjualnya. Nilai bukan
merupakan fakta tetapi lebih merupakan perkiraan manfaat ekonomi atas barang
dan jasa pada suatu waktu tertentu dalam hubungannya dengan definisi nilai tertentu.

MENGAPA PROPERTI MERUPAKAN INVESTASI YANG UNIK

v Lokasinya tetap
v Memerlukan pengembangan
v Memerlukan keahlian
v Tidak ada data resmi
v Tidak ada pasar resmi
v Hanya sedikit ilmu tentang pasar real estate
v Perlu pembiayaan
v Menyangkut kegiatan jangka panjang
v Relatif berupa satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan

SIAPA YANG BERINVESTASI DI PROPERTI

Pengembang
Akan memperoleh keuntungan dari kegiatan pengembangan properti

Pengguna
Akan memperoleh manfaat dari kepemilikan atau operasional properti

Investor
Akan memperoleh keuntungan atas modal yang ditanamkan dalam investasi properti dengan perhitungan yang seksama

Spekulator
Akan memperoleh keuntungan dari spekulasi penempatan modal dalam investasi properti

PERTIMBANGAN POSITIF BERINVESTASI DI PROPERTI

Pride of ownership
Investor properti selain memiliki motif investasi murni, mereka juga merasakan kebanggaan akan kepemilikan properti tersebut. Sebagai gambaran yang mudah suatu perusahaan yang berkembang pesat dan memiliki prestise di pasar tentunya ingin melengkapi prestise tersebut dengan memiliki gedung kantor yang megah dan sesuai dengan nuansa dan visi perusahaan tersebut.
Sebagai contoh hampir semua BUMN besar, perusahaan konglomerasi dan perusahaan multinasional memiliki gedung sendiri sebagai kantor pusat.

Personal control
Berdasarkan dengan dasar legalitas kepemilikan atas properti yang memang sangat ketat dan kuat, tentunya sebagai implikasi daripada kepemilikan tersebut investor sebagai pemilik memiliki kontrol yang sangat kuat terhadap pengelolaan properti bersangkutan.

Personal use and occupancy
Terkait dengan pertumbuhan bisnis perusahaan, maka prestise perusahaan tersebut di mata pasar juga akan meningkat. Selain itu, pertumbuhan bisnis juga akan meningkatkan akumulasi pertumbuhan kapital atau modal yang dimiliki oleh perusahaan. Biasanya, sebagai pendukung prestise tersebut dan juga ditunjang oleh kemampuan kapitalnya, maka perusahaan akan menguasai properti untuk dipergunakan sendiri, seperti sebagai kantor pusat, fasilitas akomodasi internal, ruang menjamu tamu penting perusahaan, ataupun penggunaan internal lainnya.

Security of capital
Properti sebagaimana dalam pandangan investasi merupakan salah satu option atau portofolio dalam investasi. Berkenaan dengan hal tersebut, akumulasi kapital sebagai implikasi dari tanbungan dan akumulasi pendapatan memberikan pandangan kepada pemilik modal untuk mengamankan kapitalnya. Sebagai salah satu option investasi, maka properti juga menjadi satu sarana untuk mengamankan kapitalnya.

High operating yield
Properti sendiri memiliki kinerja yang memungkinkan untuk mendapatkan tingkat pengembalian investasi yang tinggi dari pendapatan operasinya. Hal ini terlihat dari tingkat pengembalian properti yang relatif lebih tinggi dibandingkan portofolio investais lainnya.

Leverage
Investasi properti sangat memungkina orang dengan dana yang terbatas mampu untuk menguasai ataupun mengelola investasi properti yang besar. Hal ini mungkin terjadi oleh karena adanya pinjaman yang menambah kemampuan permodalan untuk investasi. Sebagai gambaran iklim investasi properti di Indonesia adalah debt to equity ratio yang bisa mencapai 70% : 30%.

Tax shelter factor
Investasi properti juga memungkinkan untuk dikenakan kebijakan pembayaran pajak yang lebih rendah. Dengan adanya mekanisme depresiasi dan amortisasi, investasi properti dapat menurunkan beban pajak dari pendapatan operasinya.

Capital appreciation
Properti sendiri memiliki cirikhas yang meningkatkan nilai kapital sebagai implikasi kenaikan harga tanah. Kenaikan nilai ini memang sebagai implikasi supply demand mechanism oleh karena tanah memiliki keterbatasan supply sedangkan deman terus meningkat, sehingga secara relatif harga akan terus meningkat.

FAKTOR TIDAK MENGUNTUNGKAN PADA INVESTASI PROPERTI

Illiquidity
Investasi properti sangat sulit untuk mampu secara cepat dikonversikan dalam bentuk uang cash. Hal ini terkait dengan nilainya yang besar.

Time constraints
Properti membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dilakukan transaksi ataupun perpindahan kepemilikan.

Depreciation factor
Properti mengalami apa yang dikenal dengan depresiasi (penurunan nilai).

Government control
Properti sangat sarat dengan kontrol pemerintah, mulai dari kebijakan investasi, peraturan pembangunan, peraturan peruntukan tanah dan bangunan, perpajakan dan lain-lain.

Highly related to market cycle
Investasi properti sangat terkait dengan siklus pasar properti.


Pokok-Pokok Perubahan Undang-Undang PPN dan PPnBM

Pokok-Pokok Perubahan Undang-Undang PPN dan PPnBM 2009

1. Objek dan Non Objek Pajak
  • Dalam rangka menetralkan pembebanan PPN dan menambah daya saing kegiatan jasa yang dilakukan oleh pengusaha Indonesia di luar Daerah Pabean dan pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari Indonesia di Luar Daerah Pabean, maka atas ekspor JKP dan BKP Tidak Berwujud dalam RUU PPN dikenakan tarif 0% (nol persen).
  • Barang hasil pertanian yang diambil langsung dari sumbernya tetap sebagai BKP yang pengenaan PPN-nya akan menggunakan mekanisme pedoman pengkreditan Pajak Masukan (Deemed Pajak Masukan).

2. Bukan Objek
  • Untuk memberikan kepastian hukum, pengaturan jenis barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN, yang semula diatur dengan Peraturan Pemerintah dinaikkan ke batang tubuh UU PPN dan PPnBM.
  • Untuk menjamin ketersediaan bahan baku industri energi dalam negeri, barang hasil pertambangan umum yang diambil langsung dari sumbernya termasuk batubara tetap sebagai barang yang tidak dikenakan PPN.
  • Dalam rangka pemenuhan gizi rakyat Indonesia dengan harga yang terjangkau, maka daging segar, telur yang belum diolah, susu perah, sayuran segar dan buah-buahan segar ditetapkan sebagai barang kebutuhan pokok yang tidak dikenakan PPN.
  • Untuk menghindari pengenaan pajak berganda terhadap suatu objek yang sama, maka objek-objek tertentu yang sudah dikenakan pajak daerah dikecualikan dari pengenaan PPN, yaitu barang hasil pertambangan galian C, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran. rumah makan, warung dan sejenisnya, jasa perhotelan, jasa boga atau katering.
  • Untuk memberikan perlakuan yang sama, Jasa keuangan yang dilakukan oleh siapapun termasuk perbankan syariah ditetapkan sebagai bukan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dikenakan PPN.
3. Pengembalian (Retur) Jasa Kena Pajak (JKP)
  • Agar paralel dengan perlakuan pengembalian (retur) Barang Kena Pajak, dalam RUU PPN diatur mengenai perlakuan PPN atas penyerahan JKP yang dibatalkan/dikembalikan sebagian atau seluruhnya.
4. Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
  • Dengan tujuan untuk memberikan ruang kepada Pemerintah dalam rangka melaksanakan fungsi regulasinya, maka batas atas tarif PPnBM dinaikkan dari 75% (tujuh puluh lima persen) menjadi 200% (dua ratus persen). Tarif tertinggi sebesar 200% (dua ratus persen) akan diterapkan apabila benar-benar diperlukan.
5. Pengkreditan Pajak Masukan.
  • Dalam RUU PPN diatur bahwa Pengusaha yang belum berproduksi tetap dapat mengkreditkan PPN yang telah dibayar atas pembelian barang modal. Namun demikian, apabila dalam kurun waktu tertentu pengusaha terse but ternyata gagal berproduksi maka atas PPN yang telah dikreditkan dan telah dimintakan pengembaliannya wajib dibayar kembali. Pengaturan batasan jangka waktu untuk Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang gagal berproduksi disepakati 3 (tiga) tahun sejak pengkreditan Pajak Masukan, dan berlaku untuk semua sektor usaha.
6. Restitusi PPN
  • Apabila dalam suatu Masa Pajak terdapat kelebihan pajak maka atas kelebihan pajak tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya dan dapat direstitusi pada akhir tahun buku, kecuali Wajib Pajak tertentu yang secara mekanisme PPN akan mengalami lebih bayar seperti eksportir dan penyalur/pemasok pemerintah, diperkenankan untuk restitusi di setiap Masa Pajak. Dengan pertimbangan untuk membantu likuiditas, memberikan pelayanan yang lebih baik dan mendorong kepatuhan sukarela Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban pajaknya (self assessment), Wajib Pajak tertentu yang memiliki resiko rendah, dapat diberikan restitusi dengan pengembalian pendahuluan tanpa melalui pemeriksaan terlebih dahulu. Pemeriksaan dapat dilakukan kemudian bila diperlukan. Sanksi yang dikenakan lebih rendah dari Undang-Undang KUP yaitu 2% (dua persen) perbulan, kecuali terdapat indikasi tindak pidana perpajakan maka sanksi yang berlaku sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam UU KUP.
7. Deemed Pajak Masukan.
  • RUU ini mengatur mengenai Deemed Pajak Masukan yaitu mekanisme penetapan besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan bagi Wajib Pajak tertentu, baik berdasarkan omzet maupun kegiatan usaha (sektoral), yang bertujuan untuk memberikan kemudahan Wajib Pajak dalam menghitung kewajiban PPN-nya.
8. Pemusatan tempat PPN terutang.
  • Dalam rangka mengurangi beban administrasi Wajib Pajak, RUU memberikan kemudahan prosedur penetapan pemusatan tempat terutang yaitu cukup dengan melakukan pemberitahuan secara tertulis kepada Oirektur Jenderal pajak.
9. Saat pembuatan Faktur Pajak.
  • Dalam rangka meringankan beban administrasi Wajib Pajak maka saat pembuatan Faktur Pajak adalah pada saat terutangnya pajak, yaitu pada saat penyerahan, atau dalam hal pembayaran mendahului penyerahan maka Faktur Pajak dibuat pada saat pembayaran. Oengan pengaturan ini, Wajib Pajak tidak perlu lagi membuat faktur penjualan (invoice) yang berbeda dengan Faktur Pajak.
  • Untuk membantu likuiditas Wajib Pajak, saat penyetoran PPN dan pelaporan SPT Masa PPN yang semula paling lambat tanggal 15 (lima belas) dan tanggal 20 (dua puluh) setelah Masa Pajak berakhir sebagaimana diatur dalam Undang-Undang KUP, diperlonggar menjadi paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Mengingat ketentuan ini tidak diatur dalam Undang-Undang KUP, maka ketentuan tersebut diatur dalam RUU PPN.
10. Fasilitas Perpajakan.
  • Untuk memberikan kepastian hukum bagi pemberian fasilitas perpajakan maka diberikan penambahan fasilitas, antara lain untuk:
  1. perwakilan negara asing/badan-badan internasional
  2. impor dan penyerahan BKP/JKP dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai pinjaman/hibah/bantuan luar negeri
  3. listrik dan air
  4. kegiatan penanggulangan bencana alam nasional
  5. menjamin tersedianya angkutan umum di udara untuk mendorong kelancaran perpindahan arus barang dan orang di daerah tertentu yang tidak tersedia sarana transportasi lainnya yang memadai, dimana perbandingan antara volume barang dan orang yang harus dipindahkan dengan sarana transportasi yang tersedia sangat tinggi.
  6. bahan baku kerajinan perak
11. Restitusi Turis Asing
  • Dalam RUU PPN diatur mengenai pemberian pengembalian PPN dan PPn BM atas barang bawaan yang dibawa ke luar daerah pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri (Turis Asing), dengan syarat nilai PPN minimal sebesar Rp. 500.000 (lima ratus ribu).
12. Tanggung Renteng.
  • Pengaturan mengenai tanggung renteng PPN yang pada waktu pembahasan RUU KUP diputuskan dihapus karena merupakan pengaturan material, dimasukkan ke dalam RUU PPN, mengingat ketentuan ini masih sangat diperlukan untuk melindungi pembeli maupun penjual.
13. Masa Berlaku RUU PPN dan PPnBM.
  • Mengingat diperlukannya waktu untuk mempersiapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini, penyempurnaan sistem dan prosedur, serta pelaksanaan sosialisasi baik internal maupun eksternal maka RUU PPN dan PPnBM ini diberlakukan mulai 1 April 2010.

Sunday, March 14, 2010

INTRODUCTION AND DATA COLLECTION

a. Why a manager needs to know about statistics
b. The growth and development of modern statistics
c. Statistical thinking and modern statistics
d. Descriptive versus inferential statistics
e. The need for data
f. Data source
g. Types of data and measurement scales


a. Why a manager needs to know about statistics
Managers need to know :
How to properly present and describe information
How to draw conclusion about large population based on information from sample
How to improve processes
How to obtain reliable forecasts of variable of interest.

b. The growth and development of modern statistics
It can be traced to three separate phenomena :
The needs of the Government to collect data on its citizenry
The development of the mathematics of probability theory
The advent of the computer
Profoundly changed in the last 30 years

c. Statistical thinking and modern statistics
Statistical thinking can be defined as thought processes
that focus on ways to understand, manage, and reduce
variation

d. Descriptive versus inferential statistics
Descriptive statistics can be defined as those methods involving the collection, presentation, and characterization of a set of data in order to describe the various features of that set of data properly.
Inferential statistics can be defined as those methods that make possible the estimation of the characteristic of a population or the making of a decision concerning a population based on sample results.
A population is the totality of items or things under consideration
A sample is the portion of the population that is selected for analysis
A parameter is a summary measure that is computed to describe a characteristic of an entire population
A statistic is a summary measure that is computed to describe a characteristic from only a sample of the population

e. The need for data
Data are needed to :
Provide the necessary input to a survey
Measure performance in an ongoing service or Production processes
Assist in formulating alternative courses of action in a decision-making process
Satisfy our curiosity

f. Data source
The data collector is the primary source
The data compiler is the secondary source
Four main reasons for collecting data :
to provide input to a research study
To measure performance
To enhance decision making
To satisfy our curiosity

g. Type of data and Measurement scales
Types of data
Two types of characteristics of random variable :
Categorical random variables yield categorical responses
Numerical random variables yield numerical responses

Types of measurement scales :
Nominal scale
Ordinal scale
Interval scale
Ratio scale
The need for operational definitions
An operational definition provides a meaning to a concept or variable that can be communicated to other individuals.
It is something that has the same meaning yesterday, today and tomorrow to all individuals
Types of samples
Non-probability sample and probability sample
Non-probability sample such as judgment sample, quota sampling and chunk sampling.

A probability sample is one in which the subjects of the sample
are chosen on the basis of known probabilities.
Simple random sample
Systematic sample
Stratified sample
Cluster sample

There are four types of survey error :
Coverage error or specification bias
Non-response error
Sampling error
Measurement error

A man with one watch always knows what time it is
A man with 2 watches always searches to identify the correct one
A man with 10 watches is always reminded of the difficulty in measuring time

COOPERATE AGAINST

PEMBAGIAN HUKUM PAJAK DAN PEMBEDAANNYA
1. Hukum Pajak Material
Memuat norma-norma yang menerangkan
 keadaan-keadaan perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak
siapa- siapa yang harus dikenakan pajak?
Berapa besar pajaknya?

Atau dengan kata lain
Segala sesuatu tentang tentang timbulnya, besarnya, dan hapusnya utang pajak dan pula hubungan hukum antara pemerintah dengan wajib pajak, termasuk didalamnya peraturan-peraturan yang memuat kenaikan-kenaikan, denda-denda dan hukuman-hukuman serta cara-cara tentang pembebasan dan pengembalian pajak,
Segala sesuatu tentang tentang timbulnya, besarnya, dan hapusnya utang pajak dan pula hubungan hukum antara pemerintah dengan wajib pajak, termasuk didalamnya peraturan-peraturan yang memuat kenaikan-kenaikan, denda-denda dan hukuman-hukuman serta cara-cara tentang pembebasan dan pengembalian pajak,

Hukum Pajak Formil
 Peraturan peraturan mengenai cara-caraa untuk menjelmakan hukum pajak material menjadi suatu kenyataan.
 Memuat cara2 penyelenggaraan mengenai penetapan suatu hutang pajak
 Kontrol Pemerintah terhadap penyelenggaraan pemingutan Pajak
 Kewajiban para wajib pajak (sebelum dan sesudah menerima surat ketetapan pajak)
 Prosedur pemungutan pajak

Maksud Hukum Pajak Formal
Melindungi baik, baik Fiscus maupun wajib Pajak
Memebri jaminan bahwa hukum material dapat diselenggarakan dengan baik

Berdasar golongan
Pajak Langsung
Pajak yang bebannya harus ditanggung sendiri oleh WP ybs dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain
Pajak Tidak langsung
Pajak yang bebannya dapat dialihkan kepada pihak lain
ex: PPN dan PPenjBM

Berdasar wewenang pemungut
Pajak Pusat
Pajak yang wewenang
pemungutannya dilakukan oleh Pem. Pusat dan dilakukan oleh DepKeu melalui Dirjen pajak
diatur oleh UU
hasilnya akan masuk APBN
Pajak Daerah
Pajak yang wewenang pemungutannya dilakukan oleh Pem. Daerah dan dilakukan oleh BPKD melalui Dispenda
diatur oleh Perda
hasilnya akan masuk APBD

Berdasar sifat
Pajak Subjektif
Pajak yang memperhatikan kondisi/keadaan WP
Dalam mementukan pajak harus ada alasan2 objektif yang berhub. erat dengan keadaaan materialnya yaitu gaya pikul

Pajak objektif
Pengenaan pajak yang hanya memperhatikan kondisi objeknya

TARIF PAJAK
Tarif Tetap
Tarif Proporsional
Tarif Progresif
Tarif Degresif

Tarif Tetap
Tarif Pajak yang jumlah nominalnya tetap walaupun dasar pengenaan Pajak berbeda/berubah, sehingga jumlah pajak yang terutang selalu tetap
ex.bea materai unutk cek dan bilyet giro Rp. 3000,-

Tarif Proporsional
Tarif pajak yang merupakan persentase tetap, tetapi jumlah pajak yang terutang akan terutang akan berubah secara proporsional sebanding dengan dasar pengenaan pajaknya
ex. Tarif PPN 10%

Tarif Progresif
Pajak yang persentasinya semakin besar jika dasar pengenaan pajaknya meningkat, shg jumlah pajak yg terutang akan berubah sesuai dengan perubahan tarif dan perubahan dasar pengenaan pajaknya

Tarif Degresif
Tarif pajak yang persentasinya semakin kecil jika dasar pengenaan pajaknya meningkat, sehingga jumlah pajak yang terutang akan berubah sesuai dengan perubahan tarif dan perubahan dasar pengenaan Pajak

PERPAJAKAN

Pajak : uang/iuran yang dibayarkan rakyat kepada negara tidak ada imbalan langsung berdasarkan UU dapat dipaksakan, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran negara mis: PPh, PPN. PPnBM, PBB dll.

Retribusi : uang/iuran yang dibayarkan rakyat kepada negara dengan ada imbalan langsung, mis : parkir jalan umum, keamanan, kebersihan dll

Sumbangan : uang/iuran yang dibayarkan rakyat kepada negara dengan sukarela untuk golongan tertentu mis: domet peduli dll

PENGERTIAN PAJAK
Iuran ke kas negara oleh rakyat dapat dipaksakan
Berdasarkan undang-undang
Tidak mendapat imbalan langsung dapat ditunjuk
Digunakan untuk pengeluaran Negara

FUNGSI PAJAK
FUNGSI BUDGETAIR : untuk memasukkan penerimaan negara
FUNGSI REGULEREND: mengatur perekonomian, sosial dl

Dasar Hukum Pajak : UUD 1945 ps 23 ayat 2
Azas pemungutan pajak : tercermin dalam UU pajak :
Equality
Certainty
Convenience
Economy

Segala jenis pajak harus didasarkan UU ------------ Hukum Pajak
Kedudukan Hukum Pajak : Bagian Hukum Publik

Hukum Pajak dibedakan menjadi :
Hukum Pajak Materiil : UU PPh, UU PPN&PPnBM, UU PBB, UU BPHTB, UU Bea meterai

Hukum Pajak Formal :
UU KUP : UU No 6 h 1983, diubah dg UU No 9 Th 1994, UU No 16 Th 2000, UU No 28 th 2007
UU Peradilan Pajak: UU No 17 Th 1997 diubah dg UU no 14 Th 2002
UU Penagihan Pajak dengan surat Paksa: UU no 19 Th 1997 diubah dg UU no 19 Th 2000

PENGGOLONGAN PAJAK
1. Atas dasar pemungut atau pengelolanya :
Pajak pusat
Pajak daerah
2. atas dasar sifatnya:
a. pajak subyektif
b.pajak obyektif
3. atas dasar jenisnya :
a. pajak langsung
b. pajak tidak langsung

JENIS-JENIS PAJAK atas dasar pemungutnya

Pajak Negara :
Pajak Penghasilan UU no : 7 Th 1983, diubah dg UU no 7 Th 1991, UU no 10 Th 1994, dan UU no 17 Th 2000
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang MewahUU no : 8 Th 1983, diubah dg UU no 11 Th 1994, dan UU no 18 Th 2000
Pajak Bumi dan Bangunan UU no : 12 Th 1985, diubah dg UU no 12 Th 1994,
Bea Meterai UU no 13 Th 1994
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan UU No 21 Th 1997 diubah dengan UU no 20 Th 2000

Pajak Daerah (UU No 18 Th 1997 sebagaimana diubah dg UU 34 Th 2000):

Jenis Pajak Propinsi :
1) Pajak Kendaraan Bermotor dan kendaraan
di atas air, min 30% untuk daerah kab/kota
2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan kendaraan
di atas air; min 30% untuk daerah kab/kota
3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor min 70%
untuk daerah kab/kota
4) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air di bawah
Tanah dan Air Permukaan; min 70% untuk daerah Kab/kota

Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas :
Pajak Hotel
Pajak Restoran
Pajak Hiburan
Pajak Reklame
Pajak Penerangan Jalan
Pajak Pengambilan Bahan Galian C
Pajak Parkir


DASAR HUKUM PAJAK
Pasal 23 A Amandemen UUD 1945 bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan Undang-undang.
Produk hukum UU Perpajakan di Indonesia :
UU No 6 Th 1983 : tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah dengan UU No 9 Th 1994 dan UU 16 Th 2000
UU no 7 1983 : tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah dengan UU no 7 Th 1991, UU no 10 Th 1994, dan UU no 17 Th 2000
UU No 8 1983 : tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah sebagaimana diubah dengan UU No 11 1994 dan UU no 17 Th 2000
UU No 12 Th 1985 : tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diubah dengan UU No 12 Th 1994
UU No 13 Th 1985 tentang Bea Meterai
UU No 17 Th 1997 : tentang Badan Peradilan Sengketa Pajak sebagaimana diubah dengan UU No 14 Th 2002 tentang Pengadilan Pajak
UU No 18 Th 1997 : Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana diubah dengan UU No 34 Th 2000
UU No 19 Th 1997 : tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana diubah dengan UU No 19 Th 2000
UU No 20 Th 1997 : tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak
UU No 21 Th 1997 : tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana diubah dengan UU no 20 Th 2000

Sistem Pemungutan Pajak

Official Assessment : Wewenang menentukan pajak terutang ada di tangan pemerintah/ administratur perpajakan/fiskus
Self Assessment System : Sistem yang memberikan wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada WP untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yg terutang atau harus dibayar
Withholding system : Sistem yang memberikan wewenang kepada pihak ke3 untuk memotong, atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak, menyetor ke kas negara, dan melaporkannya ke Dirjen pajak

Stelsel Pajak (Cara Pemungutan Pajak) :
Stelsel nyata (riil)
Stelsel fiktif
Stelsel campuran

Asas-asas Pemungutan Pajak:
Asas menurut falsafah hukum yang menyatakan keadilan kepada hak negara untuk memungut pajak memunculkan teori:
a. Teori asuransi
b. Teori kepentingan
c. Teori Gaya pikul
d. Teori Bakti
e. Teori asas daya beli

Asas Yuridis: hukum pajak harus memberikan jaminan hukum kepada negara dan rakyat, oleh karena itu pemungutan pajak harus berdasarkan UU, Landasan hukum pemungutan pajak di Ind adalah pasal 23a AMANDEMEN UUD 1945

Asas Ekonomi. Pajak mempunyai fungsi budgetair dan regulerend, pemungutan pajak haru tidak menghambat kelancaran ekonomi sehingga kehidupan ekonomi tidak terganggu

Asas pemungutan pajak spesifik, misal untuk asas pemungutan pajak penghasilan:
Asas tempat tinggal
Asas kebangsaan
Asas sumber

Tarip pajak
Tarip Marginal
Tarip Efektif

Struktur Tarip :
Tarip proporsional
Tarip progresip
Tarip degresif
Tarip tetap

Hapusnya Utang Pajak
Pembayaran
Kompensasi
Daluwarsa
Pembebasan
Penghapusan

Perlawanan Pajak
Perlawanan Pasif (Tax avoidance) misal : memilih suatu kebijakan akuntansi yang memperingan beban pajak , tidak melanggar UU Pajak
Perlawanan Aktif (Tax evasion) : semua usaha secara langsung sengaja untuk menghindari pajak dengan melanggar UU

Tuesday, March 9, 2010

Revenue Recognition

Chapter XIX
Revenue Recognition

Pengakuan pendapatan yang tidak tepat dapat terjadi dalam semua industry. Produk yang terjual kepada distributor untuk dijual kembali dapat menimbulkan risiko yang berbeda dibandingkan produk atau jasa yang dijual langsung kepada pelanggan.

Pedoman untuk Pengakuan Pendapatan
Prinsip pengakuan pendapatan (revenue recognition principle) menetapkan bahwa pendfapatan diakui pada saat:
1. Direalisasi atau dapat direalisasi,
Pendapatan direalisasi apabila barang dan jasa ditukar dengan kas atau klaim atas kas (piutang).
2. Dihasilkan,
Pendapatan dihasilkan (earned) apabila entitas bersangkutan pada hakikatnya telah menyelesaikan apa yang seharusnya dilakukan untuk mendapat hak atas manfaat yang dimiliki oleh pendapatan itu, yakni, apabila proses menghasilkan laba telah selesai atau sebenarnya telah selesai.
Transaksi pendapatan telah diakui sesuai dengan prinsip ini:
1. Pendapatan dari penjualan produk diakui pada tanggal penjualan, yang biasanya diinterpretasikan sebagai tanggal penyerahan kepada pelanggan.
2. Pendapatan dari pemberian jasa diakui ketika jasa-jasa itu telah dilaksanakan dan dapat ditagih,
3. Pendapatan dari mengizinkan pihak lain menggunakan aktiva perusahaan, seperti bunga, sewa, dan royalti, diakui sesuai dengan berlalunya waktu atau ketika aktiva digunakan,
4. Pendapatan dari pelepasan aktiva selain produk diakui pada tanggal penjualan.


Penyimpangan dari Dasar Penjualan
Suatu studi yang dilakukan FASB menemukan beberapa alas an umum untuk menyimpang dari dasar penjualan:
1. Keinginan untuk mengakui lebih awal (recognize earlier) dalam proses menghasilkan laba, dan bukan pada saat penjualan jika terdapat tingkat kepastian yang tinggi mengenai jumlah pendapatan yang dihasilkan.
2. Keinginan untuk menangguhkan pengakuan pendapatan setelah saat penjualan jika tingkat ketidakpastian mengenai jumloah pendapatan ataupun biaya cukup tinggi, atau jika penjualan bukan merupakan penyelesaian yang substansial dari proses menghasilkan laba.
Pengakuan Pendapatan Pada Saat Penjualan (Penyerahan)
Menurut FASB kedua syarat untuk mengakui pendapatan (direalisasi atau dapat direalisasi dan dihasilakan) biasanya terpenuhi pada saat produk atau barang dagang diserahkan atau jasa diberikan kepada pelanggan. Pendapatan dari aktivitas pabrikasi serta penjualan umumnya diakui pada saat penjualan atau point of sale (biasanya berarti penyerahan).

Penjualan dengan Perjanjian Beli Kembali
Profesi akuntan telah mengambil langkah-langkah untuk membatasi pengakuan pendapatan dalam praktik ini. Jika terdapat perjanjian beli kembali dengan harga tertentu dan harga ini dapat menutup semua biaya persediaan ditambah biaya kepemilikan yang terkait, maka persediaan dan kewajiban yang terkait itu tetap ada dalam pembukuan.




Penjualan dengan Hak Retur
Tiga metode pengakuan pendapatan alternative apabila penjual menanggung resiko kepemilikan yang berkepanjangan karena pengembalian produk, yaitu:
1. Tidak mencatat penjualan sampai seluruh hak retur habis masa berlakunya,
2. Mencatat penjualan, tetapi mengurangi penjualan dengan estimasi retur di masa depan,
3. Mencatat penjualan serta memperhitungkan retur pada saat terjadi.

FASB menyimpulkan bahwa jika suatu perusahaan menjualproduknya tetapi memberikan pembeli hak untuk mengembalikan produk itu, maka pendapatan dari transaksi penjualan ini akan diakui pada saat penjualan hanya jika semua dari enam kondisi berikut terpenuhi:
1. Harga penjual kepada pembeli pada hakikatnya tetap (fixed) atau dapat ditentukan pada tanggal penjualan,
2. Pembeli sudah membayar penjual, atau pembeli berkewajiban untuk membayar penjual, dan kewajiban itu tidak tergantung pada penjualan kembali produk tersebut,
3. Kewajiban pembeli kepada penjual tidak akan berubah apabila terjadi pencurian atau kerusakan dfisik produk,
4. Pembeli yang memperoleh produk untuk dijual kembali memiliki substansi ekonomi yang terpisah dari yang diberikan oleh penjual,
5. Penjual tidak memiliki kewajiban yang signifikan atas kinerja masadepan yang secara langsung menyebabkan penjualan kembali produk itu oleh pembeli,
6. Jumlah retur di masa depan dapat diestimasi secara layak.



Trade Loading dan Channel Stuffing
Trade loading dan cannel stuffing merupakan keputusan serta kebijakan manajemen dan pemasaran yang melambungkan penjualan, menyimpangkan hasil operasi dan menghias laporan keuangan. Jika digunakan tanpa ketentuan yang tepat untuk retur penjualan,channel stuffing merupakan contoh klasik dari pembukuan hari ini atas pendapatan yang akan dating. Praktek trade loading dan channel stuffing harus dilarang. Para manajer bisnis perlu menyadari adanya bahaya etis darimenyesatkan komunitas keuangan dengan terlibat dalam praktek semacam itu untuk memperbaiki laporan keuangannya.

Pengakuan Pendapatan Sebelum Penyerahan
Ada dua metode akuntansi yang sangat berbeda untuk kontrak konstruksi jangka panjang yang diakui oleh profesi akuntansi:
1. Metode Presentase Penyelesaian. Pendapatan laba kotor diakui setiap periode berdasarkan kemajuan proses konstruksi,yaitu presentase penyelesaian.
2. Metode Kontrak Selesai. Pendapatan dan laba kotor hanya diakui pada saat kontrak diselesaikan.
Profesi akuntansi mewajibkan bahwa metode presentase penyelesaian harus digunakan apabila estimasi kemajuan ke arah penyelesaian, pendapatan, serta baiaya secara layak dapat dipercaya, dan semua syarat berikut ini terpenuhi:
1. Kontrak itu secara jelas menetapkan hak-hak yang dapat dipaksakan pemberlakuannya mengenai barang atau jasa yang akan diberikan dan diterima oleh pihak yang terlibat dalam kontrak, imbalan yang akan dipertukarkan, serta cara dan syarat penyelesaian
2. Pembeli dapat diharapkan untuk memenuhi semua kewajiban dalam kontrak,
3. Kontraktor dapat diharapkan untuk melaksanakan kewajiban kontraktual tersebut.

Metode kontrak selesai (completed contract method) harus digunakan hanya :
1. Jika suatu entitas terutama mempunyai kontrak jangka pendek,
2. Jika syarat-syarat untuk menggunakan metode presentase penyelesaian tidak dapat dipenuhi,
3. Jika terdapat bahaya yang melekat dalam kontrak itu diluar resiko bisnis yang normal danberulang.
Asumsinya adalah bahwa metode presentase penyelesaian merupakan metode yang lebih baik danmetode kontrakselesai hanya akan digunakan jika metode presentase penyelesaian dianggap tidak tepat.

Metode Presentase Penyelesaian
Untuk menerapkan metode presentase penyelesaian pada kontrak jangka panjang harus ada dasar tertentu untukmengukur kemajuan kea rah penyelesaian pada tanggal interim tertentu. Ukuran masukan yang digunakan adalah:
1. Presentase penyelesaian, dasar biaya terhadap biaya
Rumusnya adalah:
Presentase penyelesaian = Biaya yang terjadi sampai tanggal ini
Estimasi plg akhir total biaya selesai
Ini merupakan ukuran masukan paling popular yang digunakan untuk menentukan kemajuan ke arah penyelesaian.
2. Total pendapatan yang akan diakui sampai tanggal ini
Rumusnya:
Pendapatan = Presen penyelesaian x estimasi tot pendapatan
3. Jumlah pendapatan periode berjalan, dasar biaya terhadap biaya
Persamaannya adalah sebagai berikut:
Pendapatan = Pendapatan yang akan diakui sampai tanggal ini – pendapatan yang diakui pada periode sebelumnya

Bila biaya-biaya yang terjadi ditambah laba kotor yang diakui sampai tanggal ini melebihi penagihan, maka kelebihan ini dilaporkan sebagai aktiva lancar.
Bila hasil penagihan melebihi biaya yang terjadi dan laba kotor sampai tanggal ini, maka kelebihan tersebut dilaporkan sebagai kewajiban lancar.

Metode Kontrak Selesai
Menurut metode kontrak selesai,pendapatan dan laba kotor hanya diakui pada saat penjualan, yaitu pada saat kontrak diselesaikan. Biaya kontrak jangka panjang dalam proses dan penagihan tahun berjalan telah diakumulasikan, tetapi tidak ada pembebanan atau pengkreditan interim kea kun laporan laba rugi seperti pendapatan, biaya dan laba kotor.
Keunggulan utama metode kontrak selesai adalah bahwa pendapatan yang dilaporkan didasarkan atas hasil akhir dan bukan atas estimasi pekerjaan yang belum dilaksanakan. Kelemahan utamanya adalah bahwa metode ini tidak mencerminkan kinerja masa berjalan apabila periode kontrakmencakup lebih dari satu periode akuntansi.

Kerugian Kontrak Jangka Panjang
Dua jenis kerugian dapat timbul pada kontrak jangka panjang:
1. Kerugian periode berjalan atas kontrak yang menguntungkan. Kondisi ini timbul apabila, selama konstruksi terdapat kenaikan yang signifikan dalam estimasi total biaya kontrak tetapi kenaikan tersebut tidakmenghilangkan semua laba kontrak. Hanya dalam metode presentase penyelesaian saja,kenaikan estimasi baiya itu membutuhkan penyesuaian periode berjalan sebesar kelebihan laba kotor yang diakui atas proyek itu selama periode sebelumnya. Penyusunan ini dicatat sebagai kerugian periode berjalan karena merupakan perubahan estimasi akuntansi.
2. Kerugian atas kontrak yang tidak menguntungkan. Estimasi biaya pada akhir periode berjalan mungkin menunjukkan bahwa kerugian akan terjadi ketika seluruh kontrak berakhir. Baikdalam periode presentae penyelesaian maupun metode kontrak selesai, keseluruhan perkiraan kerugian kontrak harus diakui dalamperiode berjalan.

Pengakuan Pendapatan Setelah Penyerahan
Metode Akuntansi Penjualan Cicilan
Metode akuntansi penjualan cicilan lebih menekankan pada diterimanya hasil penagihan dari pada penjualan. Metode ini mengakui laba dalam periode-periode diterimanya hasil penagihan dan bukan dalam periode berjalan. Metode ini juga dibenarkan atas dasar bahwa bila tidak ada pendekatan yang layak untuk mengestimasi tingkat ketertagihan, maka pendapatan tidak boleh diakui sampai kas ditagih.
Menurut metode akuntansi penjualan cicilan, pengakuan laba ditangguhkan sampai periode penagihan kas. Baik pendapatan maupu harga pokok penjualan diakui dalam periode penjualan tetapi laba kotor yang terkait ditangguhkan sampai periode tertagihnya kas. Jadi, bukan penjualan yang ditangguhmkan sampai periode penagihan yang diantisipasi dimasa dating dan kemudian biaya serta beban yang terkait ditangguhkan,melainkan hanya proporsi laba kotornya yang ditangguhkan.
Langkah-langkah yang digunakan dalam prosedur untuk menangguhkan pendapatan dan harga pokokpenjualan barang dagang adalah:
Untuk penjualan dalam satu tahun:
1. Selama tahun berjalan, catat baik penjualan maupun harga pokok penjualan dengan cara yang biasa, dengan menggunakan akun-akun khusus yang akan dijelaskan kemudian, lalu hitung tingkat laba kotor tau transaksi penjualan cicilan,
2. Pada akhir tahun, terapkan tingkat laba kotor itu ke penagihan kas dari penjualan cicilan tahun berjalan untuk mendapatkan laba kotor yang direalisasi,
3. Laba kotor yang belum direalisasi harus ditangguhkan sampaitahun berikutnya.

Untuk penjualan yang dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya.
1. Tingkat laba kotortas penjualan setiap tahun harus diterapkan pada penagihan tunai piutang usaha yang timbil dan penjualan tahun berjalan untuk mendapatkan laba kotor yang direalisasi.
2. Selain memperhitungkan laba kotor yang direalisasi dan ditangguhkan saat ini, ada masalah lain yang dihadapi dalam akuntansi untuk transaksi penjualan cicilan, yaitu:
a. Bunga atas kontrak cicilan
b. Piutang tak tertagih
c. Gagal membayar padak pemilik kembali.
Kondisi barang dagangan yang dimiliki kembali, biaya perbaikannya, serta pasar barang bekas untuk jenis itu semuanya harus dipertimbangkan. Tujuannya haruslah mencantumkan setiap aktiva yang diperoleh dalam pembukuan sebesar nilai wajarnya atau, apabila nilai wajar tidak dapat diketahui, sebesar taksiran nilai wajar yang paling tepat.

Metode Pemulihan Biaya
Menurut metode pemulihan biaya, tidak ada laba yang diakui sampai pembayaran kas oleh pembeli melebihi harga pokok barang yang dijual oleh penjual. Sesxudah semua biaya dipulihkan, setiap tambahan kas yang tertagih dimasukkan dalam laba.

Metode Simpanan
Menurut metode simpanan, penjual melaporkan kas yang diterimadari pembeli sebagai uang tanggungan atas kontrak dan mengklasifikasikannya sebagai kewajiban di neraca. Penjual terus melaporkan propertinya sebagai aktiva dalam neraca, beserta setiap hutang terkait yang masih ada.

Investments

Chapter XVIII
Investments


Setiap perusahaan dalam melakukan investasi memiliki berbagai macam motivasi secara umum motivasi tersebut adalah untuk mendapatkan tingkat pengembalian yang tinggi. Berikut disajikan ikhtisar pendekatan akuntansi investasi :

Jenis sekuritas Maksud manajemen Pendekatan penilaian Literature otoritatif
Hutang
(Bagian I)






Hutang
(bagian II) • Tidak berencana untuk menjual
• Merencanakan untuk menjual



• Merencanakan untuk menjual
• Melaukan sejumlah pengendalian • Biaya yang diamortisasi

• nilai wajar




• nilai wajar

• metode ekuitas


“Accounting for certain investments in debt and equity securities,” SFAS No. 115


“the equity method of accounting for investment in common stock,” APB opinion No. 18.

BAGIAN I
INVESTASI DALAM SEKURITAS HUTANG
Sekuritas hutang adalah instrument yang menunjukkan hubungan kreditor dengan suatu perusahaan. Investasi dalam sekuritas hutang dikelompokkan menjadi tiga kategori terpisah untuk tujuan akuntansi dan pelaporan.
1. Dimiliki sampai jatuh tempo (held to – maturity) : sekuritas hutang yang menurut maksud dan kemampuan perusahaan akan dimiliki sampai jatuh tempo.
2. Perdagangan (trading) sekuritas yang dibeli dan dimiliki terutama untuk dijual dalam waktu dekat untuk menghasilkan laba atas selisih harga jangka pendek
3. Tersedia untuk dijual (available for sale) : sekuritas hutang yang tidak diklasifikasikann sebagai sekuritas yang dimiliki sampai jatuh tempo atau perdagangan.

Sekuritas yang Dimiliki Sampai Jatuh Tempo
Hanya sekuritas hutang yang dapat diklasifikasikan sebagai sekuritas yang dimiliki sampai jatuh tempo, karena sekuritas ekuitas menurut devinisinya tidak memiliki jatuh tempo.
Sekuritas hutang hutang harus diklasifikasikan sebagai dimiliki sampai jatuh tempo hanya jika entitas melaporkan mempunyai niat positif dan kemampuan untuk memiliki sekuritas itu sampai jatuh tempo. Sekuritas yang dimiliki sampai jatuh tempo dipertanggungjawabkan sebesar biaya yang diamortisasi.

Sekuritas yang Tersedia Untuk Dijual
Investasi dalam sekuritas hutang yang termasuk dalam kategori tersedia untuk dijual dilaporkan sebesar nilai wajar. Perubahan nilai wajar tidak dilaporkan sebagai bagian dari laba bersih sampai sekuritas itu dijual.

Sekuritas Perdagangan
Sekuritas perdagangan (trading securities) dimiliki dengan maksud akan dijual dalam periode waktu yang singkat. Sekuritas perdagangan digunakan untuk menghasilkan laba dari selisih harga jangka pendek. Periode kepemilikan sekuritas ini biasanya kurang dari 3 bulan dan mungkin sering diukur dalam hitungan hari atau jam. Sekuritas ini dilaporkan pada nilai wajar, dengan keuntungan dan kerugian kepemilikan yang belum direalisasi dilaporkan sebagai bagian dari laba bersih. Setiap diskonto atau premi tidak diamortisasi.
Keuntungan atau kerugian kepemilikan adalah perubahan bersih dalam nilai wajar sekuritas dari satu periode ke periode lainnya, tidak termasuk pendapatan dividen atau bunga yang telah diakui tetapi belum diterima.

BAGIAN II
INVESTASI DALAM SEKURITAS EKUITAS
Sekuritas ekuitas digambarkan sebagai sekuritas yang menunjukkan bagian kepemilikan seperti saham biasa, saham preferen, atau modal saham lainnnya. Investasi oleh satu perusahaan dalam saham biasa perusahaan lain dapat diklasifikasikan menurut presentase saham dengan hak suara investee yang dimiliki investor :
1. Kepemilikan kurang dari 20% (metode nilai wajar) – investor mempunyai hak pasif.
2. Kepemilikan antara 20% dan 50% (metode ekuitas) – investor mempunyai pengaruh yang signifikan.
3. Kepemilkan lebih dari 50% (laporan konsolidasi) – investor mempunyai hak mengendalikan.

Tingkat Pengaruh Menentukan Metode Akuntansi

Presentase Kepemilikan 0% sampai 20% 20% sampai 50% 50% sampai 100%
Tingkat
Pengaruh Kecil atau
tidak ada Signifikan Kendali
Metode
Penilaian Metode
nilai wajar Metode
ekuitas konsolidasi


1. Kepemilikan Kurang Dari 20%
Apabila seorang investor memiliki hak kurang dari 20%, maka diasumsikan bahwa investor itu mempunyai pengaruh yang kecil atau tidak mempunyai pengaruh terhadap investee. Dalam hal ini, jika harga pasar tersedia , maka investasi itu dinilai dan dilaporkan setelah akuisisi dengan menggunkan metode nilai wajar. Metode ini mengharuskan perusahaan mengklasifikasikan sekuritas pada saat akuisisi sebagai sekuritas yang tersedia untuk dijual atau sekuritas perdagangan.

Sekuritas yang tersedia untuk dijual
Jika seorang investor memiliki kurang dari 20% saham biasa perusahaan lain, maka dianggap bahwa investor itu memiliki pengaruh yang relative kecil terhadap investee. Akibatnya, laba bersih yang dihasilkan investee, tidak dianggap sebagai dasar yang tepat untuk mengakui laba dari investasi oleh investor.
Sekuritas Perdagangan
Untuk sekuritas perdagangan, keuntungan atau kerugian kepemilikan yang belum direalisasi dilaporkan sebagai bagian dari laba bersih. Jadi, digunakan judul akun keuntungan atau kerugian kepemilikan yang belum direalisasi – laba. Ketika penjualan dilakukan, bagian keuntungan atau kerugian diakui dalam laba.

2. Kepemilikan Antara 20% Dan 50%
FASB memberikan contoh – contoh kasus dimana investasi sebesar 20% atau lebih tidak memungkinkan investor untuk melaksanakan “pengaruh yang signiifikan” ;
a. investee menentang akuisisi sahamnya oleh investor. Misalnya investee mengajukan tuntutan terhadap investor, atau mengajukan pengaduan kepada badan regulator pemerintah.
b. Investor dan investee menandatangani suatu perjanjian yang menyatakan bahwa investor akan melapaskan hak – hak pemegang saham yang signifikan. Hal ini biasanya terjadi jika investee menolak upaya pengambilalihan oleh investor, dan investor setuju untuk membatasi kepemilikan sahamnya dalam investee.
c. Bagian kepemilikan investor tidak menghasilkan “pengaruh yang signifikan” karena kepemilikan mayoritas atas investee terpusat pada sekelompok kecil pemegang saham yang mengoperasikan investee tanpa memperhatikan pandangan investor.
d. Investor membuutuhkan atau menginginkan lebih banyak informasi keuangan daripada yang diterbitkan investee kepada public, mencoba mendapatkannya dari investee dan gagal.
e. Investor mencoba dan gagal untuk menempatkan wakilnya dalam dewan direksi investee.
Dalam hal terdapat “pengaruh signifikan” (biasanya investasi sebesar 20% atau lebih), investor diharuskan untuk memperhitungkan investasi itu dengan menggunakan metode ekuitas.

Metode Ekuitas
Dalam metode ini diketahui adanya hubungan ekonomi yang nyata antara investor dan investee. Metode ekuitas mengakui bahwa laba investee akan menambah aktiva bersih investee, dan bahwa kerugian serta deviden investee mengurangi aktiva bersih tersebut.

Perubahan dari dan ke metode ekuitas
Jika tingkat pengaruh dari kepemilikan investor turun dibawah tingkat yang diperlukan untuk terus memakai metode ekuitas, maka harus dilakukan perubahan ke metode nilai wajar.


Pengungkapan Yang Disyaratkan Menurut Metode Ekuitas
a. Nama setiap investee dan presentase kepemilikan saham biasa.
b. Kebijakan akuntansi investor mengenai investasi dalam saham biasa.
c. Selisih, jika ada, antara jumlah dalam akun investasi dan jumlah ekuitas yang mendasari aktiva bersih investee.
d. Nilai agregat setiap investasi yang diidentifikasi berdasarkan kutipan harga pasar, jika tersedia
e. Apabila investasi dengan hak 20% atau lebih secara agregat nilainya material jika dihubungkan dengan posisi keuangan dan hasil operasi investor, maka ikhtisar informasi mengenai aktiva, kewajiban, dan hasil operasi para investee mungkin perlu disajikan secara individu atau dalam kelompok, sesuai keadaannya.
3. Kepemilikan lebih dari 50%
jika suatu perusahaan memperoleh hak suara lebih dari 50% yaitu hak mengendalikan dalam sebuah perusahaan lain, maka perusahaan investor disebut sebagai perusahaan induk dan investee disebut sebagai perusahaan anak. Investasi dalam saham biasa perusahaan anak disajikan sebagai investasi jangka panjang dalam laporan keuangan tersendiri yang dibuat oleh perusahaan induk.

BAGIAN III
MASALAH PELAPORAN LAINNYA
Masalah – masalah akuntansi untuk investasi dalam sekuritas hutang dan ekuitas.
1. Penyajian laporan keuangan
Penyesuaian reklasifikasi : perusahaan mempunyai opsi untuk menampilkan komponen – komponen laba komprehensif lainnya :
a. dalam laporan laba – rugi dan laba komprehensif gabungan.
b. Dalam lapaoran laba komprehensif yang terpisah yang dimulai dengan laba bersih
c. Dalam laporan ekuitas pemegang saham
Untuk sekuritas yang diklasifikasikan sebagai tersedia untuk dijual dan terpisah dari sekuritas yang diklasifikasikan sebagai sekuritas yang dimiliki sampai jatuh tempo, perusahaan harus menguraikan :
a. nilai wajar agregat ; keuntungan kotor kepemilikan yang belum direalisasi, keruguian kotor yang belum direalisasi, dan dasar biaya yang diamortisasi menurut jenis sekuritas utama (hutang dan ekuitas)
b. informasi tentang tanggal jatuh tempo kontraktual sekuritas hutang.
2. Penurunan nilai
Jika penurunan nilai dianggap tidak temporer, maka dasar biaya dari setiap ekuitas diturunkan sampai ke dasar biaya yang baru. Jumlah penurunan itu diperhitungkan sebagai kerugian yang direalisasi dan karenanya dimasukkan dalam laba bersih.
3. Transfer diantara kategori
Transfer kategori diperhitungkan sebesar nilai wajar. Jadi jika sekuritas yang tersedia untuk dijual ditransfer ke investasi yang dimiliki sampai jatuh tempo, maka investasi baru ini dicatat pada tanggal transfer sebesar nilai wajar kategori yang baru.
4. Kontroversi nilai wajar
a. Pengukuran berdaskan niat
b. Perdagangan keuntungan
c. Pewajiban tidak dinilai secara wajar
d. Subjektivitas nilai wajar


Masalah Khusus Yang Berkaitan Dengan Investasi
Pendapatan Dari Investasi Dalam Sekuritas Ekuitas
Menurut metode nilai wajar, dividen yang diterima dilaporkan sebagai pendapatan dividen. Keuntungan atau kerugian penjualan investasi juga merupakan faktor dalam menentukan laba bersih periode berjalan.

Dividen Yang Diterima Dalam Bentuk Saham
Saham yang diterima sebagai hasil dari dividen saham atau pemecahan saham bukan merupakan pendapatan bagi penerimanya.

Hak Saham (Stock Right)
Hak saham memiliki tiga tanggal penting :
a. Tanggal penawaran hak saham diumumkan
b. Tanggal sertifikat atau hak saham itu diterbitkan
c. Tanggal hak saham itu kadaluarsa

Disposisi hak :
Investor yang menerima hak untuk membeli saham tambahan mempunyai tiga alternatif :
a. Menggunakan hak itu dengan membeli saham tamabahan
b. Menjual hak tersebut
c. Membiarkan hak itu kadaluarsa tanpa menjual atau menggunakannya.

Nilai Penyerahan Tunai Asuransi Jiwa
Jenis – jenis asuransi :
a. Asuransi bencana
b. Asuransi kewajiban
c. Asuransi jiwa
Jenis – jenis asuransi jiwa tertentu merupakan investasi, sementara asuransi bencana dan asuransi kewajiban bukan merupakan investasi.

Akuntansi Untuk Dana
Ada dua jenis umum dana :
a. dana yang disisihkan dari kas untuk memenuhi kewajiban lancar tertentu
b. dana yang tidak langsung berhubungan dengan operasi berjalan dan karenanya bersifat investasi jangka panjang.

Yang menggunakan instrumen derivatif :
1. produen dan konsumen
2. spekulator dan arbitrajur

Mengapa menggunakan derivatif :
Derivatif digunakan terutama untuk tujuan membendung exposure perusahaan terhadap fluktuasi suku bunga, kurs tukar valuta asing dan harga komodity.

Pedoman yang digunakan dalam akuntansi derivatif :
1. Derivatif harus diakui dalam laporan keuangan sebagai aktiva atau kewajiban
2. derivatif harus dilaporkan pada nilai wajar
3. keuntungan dan kerugian yang dihasilkan dari spekulasi dalam derivatif harus langsung diakui dalam pendapatan.
4. keuntungan dan kerugian yang dihasilkan dari transaksi hedging dilaporkan dengan cara yangg berbeda, tergantung pada jenis hedging.


Perbedaan antara instrumen keuangan tradisional dan derivatif :
Karakteristik dasar instrumen keuangan derifatif :
1. instrumen tersebut mempunyai satu atau lebih dasar dan provisi pembayaran yang teridentifikasi
2. instrumen tersebut memerlukan investasi kecil atau tidak sama sekali investasi pada awal kontrak.
3. instrumen tersebut mengaruskan atau memperbolehkan penyelesaian bersih.

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PADA PROVINSI JAWA TENGAH

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PADA
PROVINSI JAWA TENGAH

Oleh :
Shintya Dewi Adi Putri, SE
Universitas Negeri Semarang



PENDAHULUAN

Tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh sebagian masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini, membawa dampak terhadap hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Salah satu unsur reformasi total tersebut adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah (pemerintah daerah), yang di kenal dengan kebijakan otonomi daerah. Dalam pelaksanaan diharapkan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan, potensi dan keanekaragaman daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi otonomi daerah merupakan sarana untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin membaik.

Alasan-alasan yang menyebabkan lahirnya tuntutan tersebut. Adalah, pertama, intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar di masa yang lalu telah menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektifitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di daerah. Hal tersebut menyebabkan inisiatif dan prakarsa daerah cenderung mati sehingga pemerintah daerah seringkali menjadikan pemenuhan peraturan sebagai tujuan, dan bukan sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Kedua, otonomi daerah merupakan jawaban untuk memasuki era new game yang membawa new rules pada semua aspek kehidupan manusia di masa yang akan datang. Di era seperti ini, dimana globalization cascade sudah semakin meluas, pemerintah akan semakin kehilangan kendali pada banyak persoalan, seperti pada perdagangan internasional, informasi, serta transaksi keuangan (Mardiasmo, 2002: 3-4).

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sebagai sub sistem pemerintahan negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Sebagai daerah otonom, daerah mempunyai wewenang dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan pertanggung jawaban kepada masyarakat. Prinsip dasar pemberian otonomi didasarkan atas pertimbangan bahwa daerahlah yang lebih mengetahui kebutuhan dan standar pelayanan bagi masyarakat di daerahnya. Atas dasar pertimbangan ini, maka pemberian otonomi diharapkan akan lebih mampu memacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat pada akhirnya.
Pengelolaan keuangan Negara/daerah di Indonesia telah banyak mengalami perubahan (perbaikan) seiring dengan semangat reformasi manajemen keuangan pemerintah untuk mencapai keberhasilan Otonomi Daerah. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya paket peraturan perundangan di bidang keuangan Negara, beserta peraturan-peraturan turunannya yang juga telah banyak mengalami revisi dan penyempurnaan. Beberapa peraturan terkait dengan implementasi Otonomi Daerah yang telah dikeluarkan adalah paket undang-undang bidang keuangan negara yakni UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksanaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Dalam desentralisasi fiskal, komponen dana perimbangan merupakan sumber penerimaan daerah yang sangat penting. Dana perimbangan merupakan inti dari desentralisasi fiskal. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah merupakan salah satu bentuk hubungan dari sekian banyak hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah merupakan suatu sistem hubungan keuangan yang bersifat vertikal antara pemerintah pusat dan daerah (intergovernmental fiscal relations system), sebagai konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dalam bentuk penyerahan sebagian wewenang pemerintahan.

Ada perbedaan sudut pandang di dalam menyikapi masalah dana perimbangan ini. Di satu sisi, adanya dana perimbangan dalam otonomi daerah merupakan bentuk tanggung jawab dari pemerintah pusat atas berjalannya proses otonomi daerah. Hal ini juga sebagai wujud bahwa walaupun sistem yang diterapkan adalah sistem otonomi daerah, akan tetapi tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun di sisi yang lain, adanya dana perimbangan yang terlalu besar akan menimbulkan persepsi bahwa daerah tersebut tidak mandiri secara fiskal dan akan sampai pada kesimpulan akhir bahwa otonomi daerah tidak efektif untuk dilaksanakan. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa hampir di semua daerah prosentase Pendapatan Asli Daerah, relatif lebih kecil, sekitar 25% dari total penerimaan daerah. Pada umumnya APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) suatu daerah didominasi oleh sumbangan pemerintah pusat dan sumbangan-sumbangan lain, yang diatur dengan peraturan perundang-undangan, yaitu sekitar 75% dari total penerimaan daerah.

Hal ini menyebabkan daerah masih tergantung kepada pemerintah pusat, sehingga kemampuan daerah untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki menjadi sangat terbatas. Rendahnya PAD suatu daerah bukanlah disebabkan oleh karena secara struktural daerah memang miskin atau tidak memiliki sumber-sumber keuangan yang potensial, tetapi lebih banyak disebabkan oleh kebijakan pemerintah pusat. Selama ini sumber-sumber keuangan yang potensial dikuasai oleh pusat.
Dalam rangka mengimplementasikan perundang-undangan bidang keuangan negara telah dikeluarkan berbagai aturan pelaksanaan dalam bentuk peraturan pemerintah (PP), antara lain PP No. 20 tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah dan PP No. 21 tahun 2004 tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementrian Negara/Lembaga, PP No. 24 tahun 2004 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, dan lain-lain. Khusus berkenaan dengan pengelolaan keuangan daerah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Sebagai tindak lanjut PP No. 58 tahun 2005, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Permendagri No 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dan terakhir telah direvisi dengan Permendagri No. 59/2007 tentang Perubahan Atas Permendagri No. 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan ini khusus mengatur mengenai pedoman pengelolaan keuangan daerah yang baru, sesuai arah reformasi tata kelola keuangan negara/daerah.

Perubahan yang sangat mendasar dalam peraturan ini adalah bergesernya fungsi Ordonancering dari Badan/Bagian/biro Keuangan ke setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan SKPD sebagai accounting entity berkewajiban untuk membuat laporan keuangan SKPD serta penegasan bahwa Bendahara Pengeluaran sebagai Pejabat Fungsional. Oleh karena itu, setiap Bendahara Pengeluaran harus memiliki keahlian khusus di bidang kebendaharaan dan dibuktikan dengan sertifikat keahlian dari lembaga yang berwenang untuk menyelenggarakan Diklat Sertifkasi Bendahara Pengeluaran. Peraturan-peraturan baru yang mengatur tentang pengelolaan keuangan daerah tersebut di atas harus diimplementasikan secara bertahap di tahun 2007-2008. Oleh karena itu, setiap Daerah harus mulai mempersiapkan semua perangkat yang diperlukan termasuk menata dan meningkatkan kemampuan SDM aparaturnya khususnya di bidang keuangan guna mengantisipasi perubahan - perubahan dalam pengelolaan APBD dan pertanggung jawabannya pada akhir tahun anggaran. Berhasil-tidaknya pelaksanaan suatu sistem pengelolaan keuangan daerah sangat tergantung dari kompetensi para pengelolanya sehingga peningkatan kualitas SDM pengelola merupakan hal yang wajib dilaksanakan.

Pengelolaan keuangan daerah sebagaimana amanat otonomi daerah dilaksanakan secara jujur dan transparan dengan memiliki nilai akuntabilitas yang tinggi di dalam pengelolan dan pertanggungjawaban keuangan daerah Pemerintah daerah dituntut agar menyusun laporan keuangan daerah perlu disesuaikan dengan sistim dan prosedur sesuai dengan standar akuntasi Pemerintah. Kaitan dengan hal diatas tentuhnya hal yang mendasar yang selalu menjadi kegiatan operasional Pemerintah yang secara langsun merupakan bagian dari neraca yang menunjukan posisi kekayaan hutang dan saldo dana dalam sector privat disebut modal dari suatu organisasi atau pemerintah daerah. Di dalam neraca tersebut terdapat asset yang harus dihitung dan dinilai agar pemerintah daerah dapat mengetahui dengan pasti berapa jumlah asset yang dimiliki, karena informasi tentang asset ini akan digunakan sebagai referensi dalam pengembilan keputusan oleh pengambil kebijakan, sesuai dengan tujuan akuntansi itu sendiri. Mengingat pentingnya dari informasi tentang asset tersebut maka pemerintah daerah harus segera menghitung nilai asset tetap tersebut agar dalam membuat neraca pemerintah daerah tidak mengalami kesulitan dan tidak menimbulkan masalah ketika terjadi penjualan kembali atau tukar guling pada aseet tetap serta tidak bertentangan dengan aturan penghapusan barang milik daerah.

Pelaksanaaan pembangunan daerah selalu diusahakan agar senantiasa selaras dengan roda pembangunan nasional. Untuk itu diharapkan pemerintah daerah dapat mewujudkan otonomi daerah secara lebih merata. Kebutuhan dana untuk pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat membawa konsekuensi akan perlunya memanfatkan lebih selektif terhadap sumber dana yang ada dan menggali serta mengelola sumber–sumber dana baru secara terus–menerus guna meningkatkan penerimaan daerah. Usaha pemerintah daerah dalam menggali sumber dana yang berasal dari potensi daerah yang dimiliki serta kemampuan mengelola dan memanfaatkan sumber dana yang ada tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Berbagai upaya perbaikan dan penyempurnaan dalam bidang keuangan daerah senantiasa dilakukan agar APBD dikelola secara efektif dan efisien guna mencapai sasaran pembangunan. Untuk itu diperlukan pengarahan dan pengawasan agar pengeluaran pembangunan sesuai dengan prioritas yang telah ditentukan guna mencapai sasaran pembangunan. Dalam hal ini diperlukan adanya mekanisme penyelenggaraan yang efektif, tertib dan terkendali.

Dalam APBD, terdapat dua komponen penting, yaitu penerimaan dan pengeluran daerah. Penerimaan daerah merupakan suatu modal dasar pembangunan daerah. Penerimaan daerah terdiri dari sisa lebih anggaran tahun lalu, Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP), Sumbangan dan Bantuan, serta penerimaan pembangunan. Itu untuk sebelum pemberlakuan kebijakan otonomi daerah. Sedangkan untuk sesudah kebijakan otonomi daerah diberlakukan, penerimaan daerah terdiri dari sisa lebih anggaran tahun lalu, Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan penerimaan pembangunan. Pada dasarnya keduanya sama saja, hanya pada penerimaan daerah sesudah kebijakan otonomi daerah diberlakukan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) dimasukkan dalam Dana Perimbangan yang pada penerimaan daerah sebelum kebijakan otonomi daerah diberlakukan disebut Sumbangan dan Bantuan.

Sedangkan pada pengeluaran daerah, tidak terdapat perbedaan antara sebelum kebijakan otonomi daerah diberlakukan dengan sesudah kebijakan otonomi daerah diberlakukan. Pengeluaran daerah terdiri dari pengeluaran rutin (yang meliputi belanja pegawai, belanja barang, biaya pemeliharaan, belanja perjalanan dinas, belanja lain–lain, angsuran pinjaman/hutang, ganjaran subsidi dan sumbangan kepada daerah bawahan, pensiun/bantuan dan understand, pengeluaran lain–lain, dan pengeluaran tak terduga) dan pengeluaran pembangunan (yang meliputi bidang ekonomi, bidang sosial, bidang umum, subsidi pembangunan kepada daerah bawahan, pembayaran kembali pinjaman, dan belanja pembangunan lain–lain).




KAJIAN TEORITIS

Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat 5.

“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” (Undang-Undang Otonomi Daerah 2004: 4).

Menurut UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 1 ayat 7 dan UU No 33 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat 8

“Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia.” (Undang-Undang Otonomi Daerah 2004: 4 dan 220)

Desentralisasi fiskal secara singkat dapat diartikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan (Saragih, Op cit: 83)

Dalam melaksanakan desentralisasi fiskal, prinsip money should follow function merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan. Prinsip tersebut berarti setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebuy. Kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan derivatif dari kebijakan otonomi daerah. Artinya, semakin banyak wewenang yang dilimpahkan, maka kecenderungan semakin besar biaya yang dibutuhkan oleh daerah.

Salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan pembangunan daerah adalah kemampuan keuangan daerah yang memadai. Semakin besar keuangan daerah, maka semakin besar pula kemampuan daerahuntuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan daerah. Menurut Tjokroamidjojo (1993) bahwa pemerintah daerah akan dapat menjalankan fungsinya dalam rangka otonomi atau desentralisasi secara baik, apabila diterima sumber-sumber keuangan yang cukup untuk menjalankan fungsi tersebut.

Sumber pendapatan daerah terdiri atas:
a. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu:
1. hasil pajak daerah
2. hasil retribusi daerah
3. hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan, dan
4. lain-lain PAD yang sah
b. Dana perimbangan
c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah
(Undang-Undang Otonomi Daerah 2004:103-104)

Menurut UU No 33 Pasal 1 ayat 18,

“Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.”

Menurut UU No 33 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 19, 20, 21, dan 23, Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.

Dana perimbangan terdiri dari:
1. Dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka presentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana bagi hasil terdiri dari:
a. Bagi hasil pajak, yang meliputi bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
b. Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 .
c. Bagi hasil sumber daya alam, yang meliputi sektor kehutanan, pertambangan umum, perikanan, minyak bumi, gas alam, dan panas bumi.
2. Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
3. Dana Alokasi Khusus (DAK), selanjutnya disebut DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional
4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Menurut UU No 32 Tahun 2004 Pasal 164 ayat 1, Lain-lain pendapatan daerah yang sah merupakan seluruh pendapatan daerah selain PAD dan dana perimbangan, yang meliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan Pemerintah

Prosentase Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP)
1. Bagi hasil pajak
a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% untuk daerah dengan rincian:
1) 16,2% untuk daerah propinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Propinsi.
2) 64,8% untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah kabupaten/kota, dan
3) 9% untuk biaya pemungutan.
4) 10% bagian Pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan kepada seluruh daerah kabupaten dan kota yang didasarkan atas realitas penerimaan PBB tahun anggaran berjalan, dengan imbangan sebagai berikut:
a) 65% dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten dan kota, dan
b) 35% dibagikan sebagai insentif kepada daerah kabupaten dan kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu.
b. Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Dana Bagi Hasil dari penerimaan (BPHTB) adalah 80% untuk daerah dengan rincian sebagai berikut:
1) 16% untuk daerah propinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Propinsi, dan
2) 2. 64% untuk daerah kabupaten dan kota penghasil dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Kabupaten/kota.
20% bagian Pemerintah dari penerimaan BPHTB dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten dan kota.
c. Pajak Penghasilan (PPh) pasal 25 dan pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi dalam Negeri dan PPh pasal 21.
Dana Bagi Hasil dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPH) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 adalah 20% dengan rincian:
1) 60% untuk kabupaten/kota
2) 40% untuk propinsi.
Sedangkan yang diterima pemerintah pusat sebesar 80%.
2. Bagi hasil bukan pajak (sumber daya alam)
a. Kehutanan
1) Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH).
Penerimaan kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) untuk daerah adalah 80% dengan rincian:
a) 16% untuk propinsi
b) 64% untuk kabupaten/kota penghasi
Sedangkan yang diterima oleh pemerintah pusat adalah 20%.
b. Dana reboisasi
Penerimaan kehutanan yang berasal dari dana reboisasi adalah 40% untuk daerah dengan rincian:
1) 16% untuk propinsi yang bersangkutan
2) 32% untuk kabupaten/kota penghasil
3) 32% dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk kabupaten/kota lainnya dalam propinsi yang bersangkutan
Sedangkan yang diterima oleh pemerintah pusat adalah 60%

Pertambangan Umum
1. Iuran Tetap (Land-rend)
Penerimaan Iuran Tetap untuk daerah adalah 80% dengan rincian:
a. 16% untuk propinsi yang bersangkutan
b. 64% untuk kabupaten/kota penghasil
Sedangkan yang diterima oleh pemerintah pusat adalah 20%.
2. Iuran Eksplorasi dan Iuran eksploitasi (Royalty)
Penerimaan Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (Royalty) untuk daerah adalah 80% dengan rincian:
a. 16% untuk propinsi yang bersangkutan
b. 32% untuk kabupaten/kota penghasil
c. 32% untuk kabupaten/kota lainnya dalam propinsi yang bersangkutan
Sedangkan yang diterima pemerintah pusat adalah 20%.

Perikanan
Penerimaan perikanan yang diterima secara nasional dibagi dengan imbangan:
a. 20% untuk pemerintah pusat
b. 80% untuk pemerintah daerah

Pertambangan Minyak Bumi
Penerimaan pertambangan minyak bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi dengan komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibagi dengan imbangan:
1. 84,5% untuk pemerintah pusat
2. 15,5% untuk daerah, dengan rincian:
a. 3% untuk propinsi yang bersangkutan
b. 6% untuk kabupaten/kota penghasil
c. 6% dibagikan untuk kabupaten/kota lain dalam propinsi yang bersangkutan
d. 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar.

Pertambangan Gas Bumi
Penerimaan pertambangan gas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi dengan komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibagi dengan imbangan:
1. 69.5% untuk pemerintah pusat
2. 30.5% untuk daerah, dengan rincian:
a. 6% untuk propinsi yang bersangkutan
b. 12% untuk kabupaten/kota penghasil
c. 12% dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam propinsi yang bersangkutan
d. 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar

Pertambangan panas bumi
Penerimaan pertambangan panas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi dengan komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibagi dengan imbangan:
1. 20% untuk pemerintah pusat
2. 80% unuk daerah, dengan rincian:
a. 16% untuk propinsi yang bersangkutan
b. 32% untuk kabupaten/kota penghasil
c. 32% dibagikan untuk kabupaten/kota dalam propinsi yang bersangkutan

Kinerja menurut kane dan Johnson (1995) adalah Outcome hasil kerja keras organisasi dalam mewujudkan tujuan strategic yang ditetapkan organisasi, kepuasan pelanggan serta kontribusinya terhadap perkembangan ekonomi masyarakat. kinerja merupakan bentuk bangunan yang multi dimensional, sehingga cara mengukurnya sangat bervariasi tergantung pada banyak factor (bates dan Holton). Dalam pencapaian kinerja yang baik perlu dilakukan perencanaan kinerja yang merupakan penetapan tingkat capaian kinerja yang dinyatakan dengan ukuran kinerja atau indikator kinerja dalam rangka mencapai sasaran atau target yang telah ditetapkan. Indikator kinerja adalah uraian ringkas dengan menggunakan ukuran kuantitatif atau kualitatif yang mengindikasikan pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah disepakati dan ditetapkan. Pencapaian kinerja dapat dituangkan dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP).

Kinerja atau kemampuan keuangan daerah merupakan salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah (Halim, 2004: 24).
Untuk melihat kinerja keuangan daerah, dapat dilakukan dengan menganalisis
a. Derajat desentralisasi fiskal (tingkat kemandirian daerah)
b. Kebutuhan Fiskal (fiscal need)
c. Kapasitas Fiskal (fiscal capacity)
d. Upaya fiskal (tax effort)

Derajat desentralisasi Fiskal
Derajat desentralisasi fiskal adalah tingkat kemandirian daerah untuk membiayai kebutuhan daerahnya sendiri tanpa menggantungkan diri dengan pemerintah pusat

Kebutuhan fiskal
Menurut UU No 33 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 1,
“Kebutuhan fiskal Daerah merupakan kebutuhan pendanaan Daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum. “ (Undang–Undang Otonomi Daerah 2004: 236).
Kapasitas fiskal
Menurut UU No 33 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 3, “ Kapasitas fiskal Daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan dana bagi hasil.“

Upaya Fiskal
Upaya fiskal adalah koefisien elastisitas Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

Kebutuhan Fiskal Standar (SKF)
Kebutuhan fiskal standar adalah rata-rata kebutuhan fiskal stándar suatu daerah (Halim, 2004: 29)

Kapasitas Fiskal Standar (KFs)
Kapasitas Fiskal Standar (KFs) adalah rata-rata kapasitas fiskal standar suatu daerah

Semakin tinggi Pendaptan Asli Daerah (PAD), semakin kuat pula derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandirian daerahnya). Semakin rendah Pendapatan Asli Daerah (PAD), semakin lemah pula derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandiriannya). Semakin tinggi Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP), semakin kuat pula derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandirian daerahnya). Semakin rendah Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (PHPBP), maka semakin lemah derajat desentralisasi iskalnya (tingkat kemandirian daerahnya). Semakin tinggi Sumbangan Daerah (SB) maka semakin lemah derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandirian daerahnya). Semakin rendah Sumbangan Daerah (SB) maka semakin kuat derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandiriannya). Semakin tinggi Indeks Pelayanan Publik Perkapita (IPPP), maka semakin besar pula kebutuhan fiskal (fiscal need). Semakin rendah Indeks Pelayanan Publik (IPPP), semakin sedikit pula kebutuhan fiskal (fiscal need). Semakin elastis Pendapatan Asli Daerah (PAD) suatu daerah, maka struktur Pendapatan Asli Daerah (PAD) daerah tersebut semakin baik. Semakin inelastis Pendapatan Asli Daerah (PAD) suatu daerah, maka struktur Pendapatan Asli Daerah (PAD) daerah tersebut semakin buruk.

METODE PEMECAHAN MASALAH

Penulis mengkaji kinerja kemampuan keuangan Provinsi Jawa Tengah selama periode 2004-2008. Kajian ini menggunakan data sekunder dengan jenis data time series yang bersumber dari Badan Pemeriksa Keuangan untuk kurun waktu 2004-2008.


PEMBAHASAN

Anggaran merupakan pedoman tindakan yang akan dilaksanakan pemerintah meliputi rencana pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan yang diukur dalam satuan rupiah,yang disusun menurut klasifikasi tertentu secara sistematis untuk satu periode. Pendapatan adalah semua penerimaan Rekening Kas Umum Negara/Daerah yang menambah ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan yang menjadi hak pemerintah, dan tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah. Belanja adalah semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah.

Laporan Realisasi Anggaran menyediakan informasi mengenai realisasi pendapatan, belanja, transfer, surplus/defisit, dan pembiayaan dari suatu entitas pelaporan yang masing-masing diperbandingkan dengan anggarannya. Informasi tersebut berguna bagi para pengguna laporan dalam mengevaluasi keputusan mengenai alokasi sumber-sumber daya ekonomi, akuntabilitas dan ketaatan entitas pelaporan terhadap anggaran. Laporan Realisasi Anggaran menyediakan informasi yang berguna dalam memprediksi sumber daya ekonomi yang akan diterima untuk mendanai kegiatan pemerintah pusat dan daerah dalam periode mendatang dengan cara menyajikan laporan secara komparatif. Laporan Realisasi Anggaran menyajikan informasi realisasi pendapatan, belanja, transfer, surplus/defisit dan pembiayaan, yang masing-masing diperbandingkan dengan anggarannya dalam satu periode. Dalam Laporan Realisasi Anggaran harus diidentifikasikan secara jelas, dan diulang pada setiap halaman laporan, jika dianggap perlu, informasi berikut:
1. nama entitas pelaporan atau sarana identifikasi lainnya;
2. cakupan entitas pelaporan;
3. periode yang dicakup;
4. mata uang pelaporan; dan
5. satuan angka yang digunakan

Tujuan pelaporan realisasi anggaran adalah memberikan informasi tentang realisasi dan anggaran entitas pelaporan secara tersanding. Penyandingan antara anggaran dan realisasinya menunjukkan tingkat ketercapaian target-target yang telah disepakati antara legislatif dan eksekutif sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Laporan realisasi anggaran mengungkapkan kegiatan keuangan pemerintah pusat / daerah yang menunjukkan ketaatan terhadap APBD / APBN. Laporan ini juga menyajikan ikhtisar sumber, alokasi dan penggunaan sumber daya ekonomi yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah dalam satu periode pelaporan.Tujuan pelaporan realisasi anggaran adalah memberikan informasi tentang realisasi dan anggaran entitas pelaporan secara tersanding. Penyandingan antara anggaran dan realisasinya menunjukkan tingkat ketercapaian target – target yang telah disepakati antara legislatf dan eksekutif sesuai dengan peraturan perundang – undangan.

Laporan Realisasi Anggaran disajikan sekurang- kurangnya sekali dalam setahun. Dalam situasi tertentu tanggal laporan suatu entitas berubah dan Laporan Realisasi Anggaran tahunan disajikan dengan suatu periode yang lebih panjang atau pendek dari satu tahun, entitas mengungkapkan informasi sebagai berikut: (a) alasan penggunaan periode pelaporan tidak satu tahun; (b) fakta bahwa jumlah-jumlah komparatif dalam Laporan Realisasi Anggaran dan catatan-catatan terkait tidak dapat diperbandingkan. Laporan Realisasi Anggaran disajikan sedemikian rupa sehingga menonjolkan berbagai unsure pendapatan, belanja, transfer, surplus/defisit, dan pembiayaan yang diperlukan untuk penyajian yang wajar. Laporan Realisasi Anggaran menyandingkan realisasi pendapatan, belanja, ransfer, surplus/defisit, dan pembiayaan dengan anggarannya. Laporan Realisasi Anggaran dijelaskan lebih lanjut dalam Catatan atas Laporan Keuangan yang memuat hal-hal yang mempengaruhi pelaksanaan anggaran seperti kebijakan fiskal dan moneter, sebab-sebab terjadinya perbedaan yang material antara anggaran dan realisasinya, serta daftar-daftar yang merinci lebih lanjut angka-angka yang dianggap perlu untuk dijelaskan. Laporan Realisasi Anggaran sekurang-kurangnya mencakup pos-pos sebagai berikut: (a) Pendapatan; (b) Belanja; (c) Transfer; (d) Surplus atau deficit; (e) Penerimaan pembiayaan; (f) Pengeluaran pembiayaan; (g) Pembiayaan neto; dan (h) Sisa lebih/kurang pembiayaan anggaran (SiLPA / SiKPA)
Jenis-jenis indikator kinerja yaitu dalam pendekatan proses pencapaian sasaran menurut fungsi belanja tersebut, memerlukan identifikasi indikator-indikator melalui system pengumpulan dan pengolahan data/informasi untuk menentukan capaian tingkat kinerja kegiatan/program. Mendefinisikan target kinerja dalam ukuran yang andal pada kondisi normal merupakan salah satu aspek yang sulit dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja.

Transfer masuk adalah penerimaan uang dari entitas pelaporan lain, misalnya penerimaan dana perimbangan dari pemerintah pusat dan dana bagi hasil dari pemerintah provinsi. Akuntansi pendapatan dilaksanakan berdasarkan azas bruto, yaitu dengan membukukan penerimaan bruto, dan tidak mencatat jumlah netonya (setelah dikompensasikan dengan pengeluaran). Pengembalian yang sifatnya normal dan berulang (recurring) atas penerimaan pendapatan pada periode penerimaan maupun pada periode sebelumnya dibukukan sebagai pengurang pendapatan. Koreksi dan pengembalian yang sifatnya tidak berulang (non-recurring) atas penerimaan pendapatan yang terjadi pada periode penerimaan pendapatan dibukukan sebagai pengurang pendapatan pada periode yang sama.

Pendapatan yang ada pada pemerintah provinsi jawa tengah terdiri dari tiga jenis pendapatan atau penerimaan yaitu :
1. pendapatan asli daerah
pendapatan asli daerah yaitu pendapatan yang dihasilkan oleh daerah tertentu dari hasil pengelolaan sumberdaya alam maupun yang lainnya. Pendapatan asli daerah berupa :
a. pendapatan pajak daerah
b. pendapatan retribusi daerah
c. pendapatan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
d. lain – lain pendapatan asli daerah yang sah
2. Dana Perimbangan
a. Bagi hasil pajak dan bukan pajak
b. Dana alokasi umum
c. Dana alokasi khusus

3. Lain – lain Pendapatan yang sah
a. Pendapatan hibah
b. Pendapatan dana darurat
c. Pendapatan lainnya
d. Dana bagi hasil pajak/retribusi dari provinsi dan pemda lainnya.

Penerimaan Pada Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2004-2008
No Jenis Pendapatan / Penerimaan
2004 2005 2006 2007 2008
1 Pendapatan Asli Daerah 1,865,391,195,285 2,490,643,742,644 2,630,621,265,217 2,932,805,174,711 3,698,843,477,590
2 Dana Perimbangan 789,076,686,943 807,132,657,515 1,185,860,715,632 1,419,342,557,332 1,504,413,993,419
3 Lain - lain Pendapatan yang sah 229,132,000,000 229,063,000,000 1,985,971,300 11,364,864,000 157,138,000


Pada tahun 2004 pendapatan asli daerah di jawa tengah di peroleh dari pajak daerah sebesar 1.602.699.352.834, dari retirbusi daerah memberikan kontribusi sebesar 146.654.204.972, hasil perush. Milik daerah memberikan sumbangsih pendapatan sebesar 12.808.251.080 dan terakhir dari lain – lain yang dipisahkan dengan kontribusi sebesar 103.229.382.399. secara berturut –turut pendapatan yang diterima provinsi jawa tengah cenderung meningkat dan stabil hanya pada tahun 2005 pendapatan yang diterima dari lain – lain PAD yang sah mengalami penurunan sebesar 93.295.730.121 tetapi tiga tahun berikutnya pendapatan ini kembali meningkat dan lebih stabil.


Persentase Kenaikan Pendapatan Provinsi Jawa Tengah
Pendapatan Asli Daerah 33.52 5.62 11.49 26.12
Dana Perimbangan 2.29 46.92 19.69 5.99
Lain - lain Pendapatan
yang sah -0.03 -99.13 472.26 -98.62



Grafik Persentase Kenaikan Pendapatan Provinsi Jawa Tengah

Berdasarkan grafik di atas terliahat pendapatan asli daerah provinsi Jawa Tengah dari tahun ke tahun tampak stabil 0 – 50 % sedangkan lain – lain pendapatan yang sah provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007 terlihat meningkat tajam sebesar 472 %.
Klasifikasi ekonomi merupakan pengelompokan belanja yang didasarkan pada jenis belanja untuk melaksanakan suatu aktivitas. Klasifikasi ekonomi untuk pemerintah pusat yaitu belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain. Klasifikasi ekonomi untuk pemerintah daerah meliputi terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, dan belanja tak terduga.

Belanja operasi merupakan pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari pemerintah pusat/daerah yang memberi manfaat jangka pendek. Belanja operasi antara lain meliputi belanja pegawai, belanja barang, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial. Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan, dan aset tak berwujud.

Belanja lain-lain/tak terduga adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa dan tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam, bencana sosial, dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah pusat/daerah.
Klasifikasi belanja menurut ekonomi (jenis belanja) adalah sebagai berikut:
1. Belanja Operasi:
2. Belanja Pegawai- Belanja Barang
3. Bunga
4. Subsidi
5. Hibah
6. Bantuan Sosial
7. Belanja Modal:
8. Belanja Aset Tetap
9. Belanja Aset Lainnya
10. Belanja Lain-lain/Tak Terduga

Klasifikasi belanja menurut fungsi adalah sebagai berikut:
1. Belanja :
2. Pelayanan Umum
3. Pertahanan
4. Ktertiban dan Keamanan
5. Ekonomi
6. Perlindungan Lingkungan Hidup
7. Perumahan dan Permukiman
8. Kesehatan
9. Pariwisata dan Budaya
10. Agama


Belanja Pada Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2004-2008
No Jenis Belanja
2004 2005 2006 2007 2008
1 Belanja Aparatur Daerah 820,818,976,463 0 0 0 0
2 Belanja Pelayanan Publik 776,353,032,638 0 0 0 0
3 Belanja Operasi 0 1,739,768,572,199 2,595,568,597,834 2,159,144,829,155 2,947,219,006,019
4 Belanja Modal 0 297,464,608,874 209,072,075,386 373,237,100,264 530,106,603,171
5 Belanja Tak Terduga 0 27,342,907,799 26,378,003,802 5,910,902,415 1,024,355,525


Dari table diatas dapat diketahui bahwa dalam laporan realisasi anggaran pemerintah provinsi jawa tengah ada beberapa belanja yang terjadi yaitu :

1. Belanja Aparatur Daerah
dalam belanja aparatur daerah ini meliputi berbagai jenis belanja yaitu :
a. belanja administrasi umum: pada laporan realisasi anggaran pemerintah provinsi jateng belanja ini ada pada tahun 2004 sebesar 544.152.979.737. dan untuk tahun – tahun selanjutnya jenis belanja ini sudah tidak ada lagi. Jenis belanja adminstrasi umum dalam belanja aparatur daerah terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja perjalanan dinas, dan belanja pemeliharaan.
b. Belanja operasi dan pemeliharaan pada laporan realisasi anggaran pemerintah provinsi jateng belanja ini juga hanya ada pada tahun 2004 yaitu 212.077.005.467 dan selanjutnya jenis belanja ini pun tidak muncul kembali. Untuk jenis belanja ini meliputi belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja perjalanan dinas dan belanja pemeliharaan.
c. Belanja modal pada tahun 2004 belanja ini masuk kedalam belanja aparatur daerah tetapi untuk tahun selanjutnya belanja ini dipisahkan, pada tahun 2004 belanja ini mencapai 64.588.991.259

2. Belanja Pelayanan Public
dalam belanja pelayanan public meliputi belanja sebagai berikut :
a. belanja administrasi umum: pada laporan realisasi anggaran pemerintah provinsi jateng belanja ini ada pada tahun 2004 sebesar 113.656.344.859. dan untuk tahun – tahun selanjutnya jenis belanja ini sudah tidak ada lagi. Jenis belanja adminstrasi umum dalam belanja aparatur daerah terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja perjalanan dinas, dan belanja pemeliharaan.
b. Belanja operasi dan pemeliharaan pada laporan realisasi anggaran pemerintah provinsi jateng belanja ini juga hanya ada pada tahun 2004 yaitu 776.353.032.638 dan selanjutnya jenis belanja ini pun tidak muncul kembali. Untuk jenis belanja ini meliputi belanja modal, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan dan belanja tidak tersangka

3. Belanja Operasi
dalam belanja operasi dapat dibagi kedalam berbagai jenis belanja yaitu :
a. belanja pegawai; dalam belanja ini untuk tahun 2005 – 2008 mengalami pembengkakan nilai belanja ini yaitu nilai tertinggi di tahun 2008 sebesar 1.126.079.550.000,- besarnya nilai ini ditimbulkan oleh banyaknya perekrutan tenaga PNS setiap tahunnya dan berbanding dengan kenaikan gaji yang semakin besar tiap tahunnya beserta tunjangannya.
b. Belanja barang; dalam belanja ini nilai belanja terbesar terdapat pada tahun 2006 yaitu sebesar 1.229.031.107.194,- besarnya nilai belanja pada tahun ini disebabkan oleh banyaknya barang -barang yang ada di pemprov jateng sudah tidak layak pakai dan segera di ganti dengan yang baru maka pengeluarannya sangat besar
c. Bantuan sosial ; dalam belanja ini pada tahun 2006 pula adanya besarnya bantuan nya yaitu sebesar 556.223.218.874,- besarnya nilai bantuan social ini ditimbulkan oleh adanya bencana yang terbesar di Indonesia yaitu tsunami maka nilai bantuan begitu besar dikeluarkan oleh pemprov jateng.

d. Belanja hibah ; dalam belanja ini hanya terjadi pada tahun 2007 dan 2008 yaitu msing – msing sebesar 2.625.240.050 dan 385.489.980.026.
e. Belanja bunga ; dalam belanja ini juga terjadi pada tahun 2007 dan 2008 yaitu masing – masing sebesar 1.650.784 dan 331.000; besarnya nilai ini ditimbulkan oleh nilai bunga yang cenderung meningkat.

4. Belanja Modal
dalam belanja modal terdapata beberapa jenis belanja yang ada :
a. belanja tanah; dalam belanja ini pada tahun 2005 pemerintahh provinsi jawa tengah melakukan belanja ini dengan cukup besar disbanding tahun – tahun lainnya yaitu senilai 48.003.455.056,-
b. belanja peraltan dan mesin ;
c. belanja gedung dan bangunan
d. belanja jalan, irigasi dan jaringan
e. bealnja asset tetap lainnya

5. Belanja Tak Terduga
Dalam belanja tak terduga pemerintah provinsi jawa tengah tahun 2004 – 2008 terjadi peningkatan yang sangat besar pada tahun 2007 yaitu sebesar 5.910.902.415,- belanja ini digunakan untuk keperluan yang tidak dianggarkan selama periode tersebut oleh pemerintah tersebut
Persentase Kenaikan Belanja Provinsi Jawa Tengah

Belanja Aparatur
Daerah -100.00 0.00 0.00 0.00
Belanja Pelayanan
Publik -100.00 0.00 0.00 0.00
Belanja Operasi 0.00 49.19 -16.81 36.50
Belanja Modal 0.00 -29.72 78.52 42.03
Belanja Tak
Terduga 0.00 -3.53 -77.59 -82.67



Grafik Belanja Kenaikan Pendapatan Provinsi Jawa Tengah



Berdasarkan grafik di atas terlihat belanja aparatur daerah provinsi Jawa Tengah dan belanja pelayanan public provinsi Jawa Tengah hanya terjadi ditahun 2004 saja. Belanja operasi provinsi Jawa Tengah dari tahun ke tahun kenaikannya sangat unstabil naik turun berkiran angka -20 % - 50 %. Belanja modal provinsi Jawa Tengah dari tahun ke tahun pun kenaikannya sangat unstabil naik turun berkiran angka -30 % - 80 %. Dan belanja tak terduga provinsi Jawa Tengah dari tahun ke tahun pun terus menurun dari 0 sampai dengan 82 %.


Selisih Pendapatan Dan Belanja Pemerintah Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2004 – 2008

No Keterangan Selisih Pendapatan dan Belanja
2004 2005 2006 2007 2008
1 Pendapatan 2,883,599,878,228 3,526,839,400,159 3,818,467,952,149 4,363,512,596,043 5,203,414,609,009
2 Belanja 2,572,554,358,908 2,064,576,088,872 2,831,018,677,022 2,538,292,831,834 3,478,349,964,715
Selisih Lebih 311,045,519,320 1,462,263,311,287 987,449,275,127 1,825,219,764,209 1,725,064,644,294

Dari table diatas dapat diketahui bahwa nilia pendapatan yang diterima oleh pemerintah provinsi jawa tengah terus mengalami kenaikan yang sangat besar yaitu di tahun 2008 menunjukkan angka senilai 5.203.414.609.009,- nilai ini diterima tertinggi pada pendapatan pajak daerah yang meningkat hampir 50% dari tahun sebelumnya dan pendapatan dari hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan pada tahun 2008 meningkat hampir 40% yaitu dengan nilia 131.234.435.000,-

Untuk belanja yang dilakukan oleh pemerintah provinsi jawa tengah tahun 2004 – 2008 mengalami belanja tertinggi pada tahun 2008 yaitu senilia 3.478.349.964.715,- belanja yang prosentase tertinggi ada pada jenis belanja jalan, irigasi dan jaringan, belanja ini menunjukkan tingkat kinerja yang bagus karena jalan yang lebih baik akan mempengaruhi sarana pemenuhan kebutuhan ekonomi pada masyarakat karena akan menjadikan arus perdagangan meningkat. Untuk irigasi ini diperlukan karena sumber daya pertanian memerlukan tata pengairan yang tepat sasaran dan bermanfaat luas bagi petani agar produksi yang dihasilkan terus mengalami peningkatan. Sedangkan untuk jaringan perkembangan kinerja yang ditunjukkan adalah dengan meningktnya system dunia maya atau internat agar kebutuhan informasi bagi pemerintah provinsi jawa tengah dapat terpenuhi dengan cepat dan tepat sasaran, jaringan ini digunakan juga untuk meningkatkan pendidikan bagi masyarakatnya.

Persentase Kenaikan Selisih Lebih Pendapatan dan Belanja
Provinsi Jawa Tengah

Selisih Lebih 370.11 -32.47 84.84 -5.49

Grafik Persentase Kenaikan Selisih Lebih Pendapatan dan Belanja
Provinsi Jawa Tengah



Berdasarkan grafik di atas terlihat persentase kenaikan selisih lebih provinsi Jawa Tengah dari tahun ke tahun selisih lebih yang di dapatkan terbesar adalah naik 370 %
KESIMPULAN

Berdasarkan analisis laporan keuangan pemerintah provinsi jawa tengah tahun 2004 – 2008 diatas bias diketahui bahwa secara umum sudah banyak pendapatan/penerimaan yang diperoleh oleh pemerintah provinsi jawa tengah baik dari pihak ketiga maupun dari pihak pemerintah, dan setiap tahunnya terjadi peningkatan penerimaan/pendapatan hal ini menunjukkan bahwa pemerintah memberi kepercayaan pada pemerintah provinsi jawa tengah untuk mengelola keuangan yang lebih besar Karena seiring dengan adanya perkembangan jawa tengah yang semakin pesat.

Belanja Pemerintah Provinsi Jawa Tengah juga terus melaju dengan berbagai jenis pembiayaan yang sangat bervariasi, meski terus berfluktuasi tetapi kinerja yang dihasilkan juga terus berkembang yang ditunjukkan dengan penerapan pada perkembangan irigasi, jaringan dan transportasi. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah mengurangi belanja tak terduga dengan tahun ke tahun presentase kenaikan jenis belanja tersebut terus menurun.

Jadi secara umum pemerintah Provinsi Jawa Tengah sudah menerapkan kinerja keuangan yang cukup bagus tetapi tidak menutup kemungkinan terjadinya kesalahan dalam belanja – belanja yang tidak perlu dilakukan, maka kedapannya pemerintah provinsi jawa tengah harus bias mengefektifkan belanja yang harus dilakukan agar pencapaian good governance bias tercapai.

KETERBATASAN RISET

Penulis dalam menilai kinerja Provinsi Jawa Tengah hanya melakukan analisis terhadap laporan keuangan tahun 2004 – 2008 terbatas pada penilaian terhadap laporan realisasi anggaran, jadi hasil penulis terfokus pada sisi pendapatan dan belanja pemerintah provinsi jawa tengah, penulis melakukan ini memandang segi pendapatan dan belanja merupakan salah satu bidang pokok yang harus di capai, dengan pendapatan/penerimaan yang tinggi maka dana yang dimiliki juga semakin tinggi dan dengan belanja yang efektif dan efisien bias menjadikan penghematan dari pembiayaan pemerintah.

Karena sektor pajak belum menjadi sektor yang diprioritaskan dalam upaya peningkatan PAD, sehingga sektor pajak belum tergali dan terkelola secara optimal, maka perlu diupayakan peningkatan PAD baik secara intensifikasi maupun ekstensifikasi.