Tuesday, March 9, 2010

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PADA PROVINSI JAWA TENGAH

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PADA
PROVINSI JAWA TENGAH

Oleh :
Shintya Dewi Adi Putri, SE
Universitas Negeri Semarang



PENDAHULUAN

Tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh sebagian masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini, membawa dampak terhadap hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Salah satu unsur reformasi total tersebut adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah (pemerintah daerah), yang di kenal dengan kebijakan otonomi daerah. Dalam pelaksanaan diharapkan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan, potensi dan keanekaragaman daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi otonomi daerah merupakan sarana untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin membaik.

Alasan-alasan yang menyebabkan lahirnya tuntutan tersebut. Adalah, pertama, intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar di masa yang lalu telah menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektifitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di daerah. Hal tersebut menyebabkan inisiatif dan prakarsa daerah cenderung mati sehingga pemerintah daerah seringkali menjadikan pemenuhan peraturan sebagai tujuan, dan bukan sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Kedua, otonomi daerah merupakan jawaban untuk memasuki era new game yang membawa new rules pada semua aspek kehidupan manusia di masa yang akan datang. Di era seperti ini, dimana globalization cascade sudah semakin meluas, pemerintah akan semakin kehilangan kendali pada banyak persoalan, seperti pada perdagangan internasional, informasi, serta transaksi keuangan (Mardiasmo, 2002: 3-4).

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sebagai sub sistem pemerintahan negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Sebagai daerah otonom, daerah mempunyai wewenang dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan pertanggung jawaban kepada masyarakat. Prinsip dasar pemberian otonomi didasarkan atas pertimbangan bahwa daerahlah yang lebih mengetahui kebutuhan dan standar pelayanan bagi masyarakat di daerahnya. Atas dasar pertimbangan ini, maka pemberian otonomi diharapkan akan lebih mampu memacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat pada akhirnya.
Pengelolaan keuangan Negara/daerah di Indonesia telah banyak mengalami perubahan (perbaikan) seiring dengan semangat reformasi manajemen keuangan pemerintah untuk mencapai keberhasilan Otonomi Daerah. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya paket peraturan perundangan di bidang keuangan Negara, beserta peraturan-peraturan turunannya yang juga telah banyak mengalami revisi dan penyempurnaan. Beberapa peraturan terkait dengan implementasi Otonomi Daerah yang telah dikeluarkan adalah paket undang-undang bidang keuangan negara yakni UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksanaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Dalam desentralisasi fiskal, komponen dana perimbangan merupakan sumber penerimaan daerah yang sangat penting. Dana perimbangan merupakan inti dari desentralisasi fiskal. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah merupakan salah satu bentuk hubungan dari sekian banyak hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah merupakan suatu sistem hubungan keuangan yang bersifat vertikal antara pemerintah pusat dan daerah (intergovernmental fiscal relations system), sebagai konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dalam bentuk penyerahan sebagian wewenang pemerintahan.

Ada perbedaan sudut pandang di dalam menyikapi masalah dana perimbangan ini. Di satu sisi, adanya dana perimbangan dalam otonomi daerah merupakan bentuk tanggung jawab dari pemerintah pusat atas berjalannya proses otonomi daerah. Hal ini juga sebagai wujud bahwa walaupun sistem yang diterapkan adalah sistem otonomi daerah, akan tetapi tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun di sisi yang lain, adanya dana perimbangan yang terlalu besar akan menimbulkan persepsi bahwa daerah tersebut tidak mandiri secara fiskal dan akan sampai pada kesimpulan akhir bahwa otonomi daerah tidak efektif untuk dilaksanakan. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa hampir di semua daerah prosentase Pendapatan Asli Daerah, relatif lebih kecil, sekitar 25% dari total penerimaan daerah. Pada umumnya APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) suatu daerah didominasi oleh sumbangan pemerintah pusat dan sumbangan-sumbangan lain, yang diatur dengan peraturan perundang-undangan, yaitu sekitar 75% dari total penerimaan daerah.

Hal ini menyebabkan daerah masih tergantung kepada pemerintah pusat, sehingga kemampuan daerah untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki menjadi sangat terbatas. Rendahnya PAD suatu daerah bukanlah disebabkan oleh karena secara struktural daerah memang miskin atau tidak memiliki sumber-sumber keuangan yang potensial, tetapi lebih banyak disebabkan oleh kebijakan pemerintah pusat. Selama ini sumber-sumber keuangan yang potensial dikuasai oleh pusat.
Dalam rangka mengimplementasikan perundang-undangan bidang keuangan negara telah dikeluarkan berbagai aturan pelaksanaan dalam bentuk peraturan pemerintah (PP), antara lain PP No. 20 tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah dan PP No. 21 tahun 2004 tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementrian Negara/Lembaga, PP No. 24 tahun 2004 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, dan lain-lain. Khusus berkenaan dengan pengelolaan keuangan daerah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Sebagai tindak lanjut PP No. 58 tahun 2005, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Permendagri No 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dan terakhir telah direvisi dengan Permendagri No. 59/2007 tentang Perubahan Atas Permendagri No. 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan ini khusus mengatur mengenai pedoman pengelolaan keuangan daerah yang baru, sesuai arah reformasi tata kelola keuangan negara/daerah.

Perubahan yang sangat mendasar dalam peraturan ini adalah bergesernya fungsi Ordonancering dari Badan/Bagian/biro Keuangan ke setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan SKPD sebagai accounting entity berkewajiban untuk membuat laporan keuangan SKPD serta penegasan bahwa Bendahara Pengeluaran sebagai Pejabat Fungsional. Oleh karena itu, setiap Bendahara Pengeluaran harus memiliki keahlian khusus di bidang kebendaharaan dan dibuktikan dengan sertifikat keahlian dari lembaga yang berwenang untuk menyelenggarakan Diklat Sertifkasi Bendahara Pengeluaran. Peraturan-peraturan baru yang mengatur tentang pengelolaan keuangan daerah tersebut di atas harus diimplementasikan secara bertahap di tahun 2007-2008. Oleh karena itu, setiap Daerah harus mulai mempersiapkan semua perangkat yang diperlukan termasuk menata dan meningkatkan kemampuan SDM aparaturnya khususnya di bidang keuangan guna mengantisipasi perubahan - perubahan dalam pengelolaan APBD dan pertanggung jawabannya pada akhir tahun anggaran. Berhasil-tidaknya pelaksanaan suatu sistem pengelolaan keuangan daerah sangat tergantung dari kompetensi para pengelolanya sehingga peningkatan kualitas SDM pengelola merupakan hal yang wajib dilaksanakan.

Pengelolaan keuangan daerah sebagaimana amanat otonomi daerah dilaksanakan secara jujur dan transparan dengan memiliki nilai akuntabilitas yang tinggi di dalam pengelolan dan pertanggungjawaban keuangan daerah Pemerintah daerah dituntut agar menyusun laporan keuangan daerah perlu disesuaikan dengan sistim dan prosedur sesuai dengan standar akuntasi Pemerintah. Kaitan dengan hal diatas tentuhnya hal yang mendasar yang selalu menjadi kegiatan operasional Pemerintah yang secara langsun merupakan bagian dari neraca yang menunjukan posisi kekayaan hutang dan saldo dana dalam sector privat disebut modal dari suatu organisasi atau pemerintah daerah. Di dalam neraca tersebut terdapat asset yang harus dihitung dan dinilai agar pemerintah daerah dapat mengetahui dengan pasti berapa jumlah asset yang dimiliki, karena informasi tentang asset ini akan digunakan sebagai referensi dalam pengembilan keputusan oleh pengambil kebijakan, sesuai dengan tujuan akuntansi itu sendiri. Mengingat pentingnya dari informasi tentang asset tersebut maka pemerintah daerah harus segera menghitung nilai asset tetap tersebut agar dalam membuat neraca pemerintah daerah tidak mengalami kesulitan dan tidak menimbulkan masalah ketika terjadi penjualan kembali atau tukar guling pada aseet tetap serta tidak bertentangan dengan aturan penghapusan barang milik daerah.

Pelaksanaaan pembangunan daerah selalu diusahakan agar senantiasa selaras dengan roda pembangunan nasional. Untuk itu diharapkan pemerintah daerah dapat mewujudkan otonomi daerah secara lebih merata. Kebutuhan dana untuk pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat membawa konsekuensi akan perlunya memanfatkan lebih selektif terhadap sumber dana yang ada dan menggali serta mengelola sumber–sumber dana baru secara terus–menerus guna meningkatkan penerimaan daerah. Usaha pemerintah daerah dalam menggali sumber dana yang berasal dari potensi daerah yang dimiliki serta kemampuan mengelola dan memanfaatkan sumber dana yang ada tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Berbagai upaya perbaikan dan penyempurnaan dalam bidang keuangan daerah senantiasa dilakukan agar APBD dikelola secara efektif dan efisien guna mencapai sasaran pembangunan. Untuk itu diperlukan pengarahan dan pengawasan agar pengeluaran pembangunan sesuai dengan prioritas yang telah ditentukan guna mencapai sasaran pembangunan. Dalam hal ini diperlukan adanya mekanisme penyelenggaraan yang efektif, tertib dan terkendali.

Dalam APBD, terdapat dua komponen penting, yaitu penerimaan dan pengeluran daerah. Penerimaan daerah merupakan suatu modal dasar pembangunan daerah. Penerimaan daerah terdiri dari sisa lebih anggaran tahun lalu, Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP), Sumbangan dan Bantuan, serta penerimaan pembangunan. Itu untuk sebelum pemberlakuan kebijakan otonomi daerah. Sedangkan untuk sesudah kebijakan otonomi daerah diberlakukan, penerimaan daerah terdiri dari sisa lebih anggaran tahun lalu, Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan penerimaan pembangunan. Pada dasarnya keduanya sama saja, hanya pada penerimaan daerah sesudah kebijakan otonomi daerah diberlakukan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) dimasukkan dalam Dana Perimbangan yang pada penerimaan daerah sebelum kebijakan otonomi daerah diberlakukan disebut Sumbangan dan Bantuan.

Sedangkan pada pengeluaran daerah, tidak terdapat perbedaan antara sebelum kebijakan otonomi daerah diberlakukan dengan sesudah kebijakan otonomi daerah diberlakukan. Pengeluaran daerah terdiri dari pengeluaran rutin (yang meliputi belanja pegawai, belanja barang, biaya pemeliharaan, belanja perjalanan dinas, belanja lain–lain, angsuran pinjaman/hutang, ganjaran subsidi dan sumbangan kepada daerah bawahan, pensiun/bantuan dan understand, pengeluaran lain–lain, dan pengeluaran tak terduga) dan pengeluaran pembangunan (yang meliputi bidang ekonomi, bidang sosial, bidang umum, subsidi pembangunan kepada daerah bawahan, pembayaran kembali pinjaman, dan belanja pembangunan lain–lain).




KAJIAN TEORITIS

Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat 5.

“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” (Undang-Undang Otonomi Daerah 2004: 4).

Menurut UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 1 ayat 7 dan UU No 33 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat 8

“Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia.” (Undang-Undang Otonomi Daerah 2004: 4 dan 220)

Desentralisasi fiskal secara singkat dapat diartikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan (Saragih, Op cit: 83)

Dalam melaksanakan desentralisasi fiskal, prinsip money should follow function merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan. Prinsip tersebut berarti setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebuy. Kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan derivatif dari kebijakan otonomi daerah. Artinya, semakin banyak wewenang yang dilimpahkan, maka kecenderungan semakin besar biaya yang dibutuhkan oleh daerah.

Salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan pembangunan daerah adalah kemampuan keuangan daerah yang memadai. Semakin besar keuangan daerah, maka semakin besar pula kemampuan daerahuntuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan daerah. Menurut Tjokroamidjojo (1993) bahwa pemerintah daerah akan dapat menjalankan fungsinya dalam rangka otonomi atau desentralisasi secara baik, apabila diterima sumber-sumber keuangan yang cukup untuk menjalankan fungsi tersebut.

Sumber pendapatan daerah terdiri atas:
a. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu:
1. hasil pajak daerah
2. hasil retribusi daerah
3. hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan, dan
4. lain-lain PAD yang sah
b. Dana perimbangan
c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah
(Undang-Undang Otonomi Daerah 2004:103-104)

Menurut UU No 33 Pasal 1 ayat 18,

“Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.”

Menurut UU No 33 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 19, 20, 21, dan 23, Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.

Dana perimbangan terdiri dari:
1. Dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka presentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana bagi hasil terdiri dari:
a. Bagi hasil pajak, yang meliputi bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
b. Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 .
c. Bagi hasil sumber daya alam, yang meliputi sektor kehutanan, pertambangan umum, perikanan, minyak bumi, gas alam, dan panas bumi.
2. Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
3. Dana Alokasi Khusus (DAK), selanjutnya disebut DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional
4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Menurut UU No 32 Tahun 2004 Pasal 164 ayat 1, Lain-lain pendapatan daerah yang sah merupakan seluruh pendapatan daerah selain PAD dan dana perimbangan, yang meliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan Pemerintah

Prosentase Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP)
1. Bagi hasil pajak
a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% untuk daerah dengan rincian:
1) 16,2% untuk daerah propinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Propinsi.
2) 64,8% untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah kabupaten/kota, dan
3) 9% untuk biaya pemungutan.
4) 10% bagian Pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan kepada seluruh daerah kabupaten dan kota yang didasarkan atas realitas penerimaan PBB tahun anggaran berjalan, dengan imbangan sebagai berikut:
a) 65% dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten dan kota, dan
b) 35% dibagikan sebagai insentif kepada daerah kabupaten dan kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu.
b. Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Dana Bagi Hasil dari penerimaan (BPHTB) adalah 80% untuk daerah dengan rincian sebagai berikut:
1) 16% untuk daerah propinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Propinsi, dan
2) 2. 64% untuk daerah kabupaten dan kota penghasil dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Kabupaten/kota.
20% bagian Pemerintah dari penerimaan BPHTB dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten dan kota.
c. Pajak Penghasilan (PPh) pasal 25 dan pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi dalam Negeri dan PPh pasal 21.
Dana Bagi Hasil dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPH) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 adalah 20% dengan rincian:
1) 60% untuk kabupaten/kota
2) 40% untuk propinsi.
Sedangkan yang diterima pemerintah pusat sebesar 80%.
2. Bagi hasil bukan pajak (sumber daya alam)
a. Kehutanan
1) Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH).
Penerimaan kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) untuk daerah adalah 80% dengan rincian:
a) 16% untuk propinsi
b) 64% untuk kabupaten/kota penghasi
Sedangkan yang diterima oleh pemerintah pusat adalah 20%.
b. Dana reboisasi
Penerimaan kehutanan yang berasal dari dana reboisasi adalah 40% untuk daerah dengan rincian:
1) 16% untuk propinsi yang bersangkutan
2) 32% untuk kabupaten/kota penghasil
3) 32% dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk kabupaten/kota lainnya dalam propinsi yang bersangkutan
Sedangkan yang diterima oleh pemerintah pusat adalah 60%

Pertambangan Umum
1. Iuran Tetap (Land-rend)
Penerimaan Iuran Tetap untuk daerah adalah 80% dengan rincian:
a. 16% untuk propinsi yang bersangkutan
b. 64% untuk kabupaten/kota penghasil
Sedangkan yang diterima oleh pemerintah pusat adalah 20%.
2. Iuran Eksplorasi dan Iuran eksploitasi (Royalty)
Penerimaan Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (Royalty) untuk daerah adalah 80% dengan rincian:
a. 16% untuk propinsi yang bersangkutan
b. 32% untuk kabupaten/kota penghasil
c. 32% untuk kabupaten/kota lainnya dalam propinsi yang bersangkutan
Sedangkan yang diterima pemerintah pusat adalah 20%.

Perikanan
Penerimaan perikanan yang diterima secara nasional dibagi dengan imbangan:
a. 20% untuk pemerintah pusat
b. 80% untuk pemerintah daerah

Pertambangan Minyak Bumi
Penerimaan pertambangan minyak bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi dengan komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibagi dengan imbangan:
1. 84,5% untuk pemerintah pusat
2. 15,5% untuk daerah, dengan rincian:
a. 3% untuk propinsi yang bersangkutan
b. 6% untuk kabupaten/kota penghasil
c. 6% dibagikan untuk kabupaten/kota lain dalam propinsi yang bersangkutan
d. 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar.

Pertambangan Gas Bumi
Penerimaan pertambangan gas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi dengan komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibagi dengan imbangan:
1. 69.5% untuk pemerintah pusat
2. 30.5% untuk daerah, dengan rincian:
a. 6% untuk propinsi yang bersangkutan
b. 12% untuk kabupaten/kota penghasil
c. 12% dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam propinsi yang bersangkutan
d. 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar

Pertambangan panas bumi
Penerimaan pertambangan panas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi dengan komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibagi dengan imbangan:
1. 20% untuk pemerintah pusat
2. 80% unuk daerah, dengan rincian:
a. 16% untuk propinsi yang bersangkutan
b. 32% untuk kabupaten/kota penghasil
c. 32% dibagikan untuk kabupaten/kota dalam propinsi yang bersangkutan

Kinerja menurut kane dan Johnson (1995) adalah Outcome hasil kerja keras organisasi dalam mewujudkan tujuan strategic yang ditetapkan organisasi, kepuasan pelanggan serta kontribusinya terhadap perkembangan ekonomi masyarakat. kinerja merupakan bentuk bangunan yang multi dimensional, sehingga cara mengukurnya sangat bervariasi tergantung pada banyak factor (bates dan Holton). Dalam pencapaian kinerja yang baik perlu dilakukan perencanaan kinerja yang merupakan penetapan tingkat capaian kinerja yang dinyatakan dengan ukuran kinerja atau indikator kinerja dalam rangka mencapai sasaran atau target yang telah ditetapkan. Indikator kinerja adalah uraian ringkas dengan menggunakan ukuran kuantitatif atau kualitatif yang mengindikasikan pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah disepakati dan ditetapkan. Pencapaian kinerja dapat dituangkan dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP).

Kinerja atau kemampuan keuangan daerah merupakan salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah (Halim, 2004: 24).
Untuk melihat kinerja keuangan daerah, dapat dilakukan dengan menganalisis
a. Derajat desentralisasi fiskal (tingkat kemandirian daerah)
b. Kebutuhan Fiskal (fiscal need)
c. Kapasitas Fiskal (fiscal capacity)
d. Upaya fiskal (tax effort)

Derajat desentralisasi Fiskal
Derajat desentralisasi fiskal adalah tingkat kemandirian daerah untuk membiayai kebutuhan daerahnya sendiri tanpa menggantungkan diri dengan pemerintah pusat

Kebutuhan fiskal
Menurut UU No 33 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 1,
“Kebutuhan fiskal Daerah merupakan kebutuhan pendanaan Daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum. “ (Undang–Undang Otonomi Daerah 2004: 236).
Kapasitas fiskal
Menurut UU No 33 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 3, “ Kapasitas fiskal Daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan dana bagi hasil.“

Upaya Fiskal
Upaya fiskal adalah koefisien elastisitas Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

Kebutuhan Fiskal Standar (SKF)
Kebutuhan fiskal standar adalah rata-rata kebutuhan fiskal stándar suatu daerah (Halim, 2004: 29)

Kapasitas Fiskal Standar (KFs)
Kapasitas Fiskal Standar (KFs) adalah rata-rata kapasitas fiskal standar suatu daerah

Semakin tinggi Pendaptan Asli Daerah (PAD), semakin kuat pula derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandirian daerahnya). Semakin rendah Pendapatan Asli Daerah (PAD), semakin lemah pula derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandiriannya). Semakin tinggi Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP), semakin kuat pula derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandirian daerahnya). Semakin rendah Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (PHPBP), maka semakin lemah derajat desentralisasi iskalnya (tingkat kemandirian daerahnya). Semakin tinggi Sumbangan Daerah (SB) maka semakin lemah derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandirian daerahnya). Semakin rendah Sumbangan Daerah (SB) maka semakin kuat derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandiriannya). Semakin tinggi Indeks Pelayanan Publik Perkapita (IPPP), maka semakin besar pula kebutuhan fiskal (fiscal need). Semakin rendah Indeks Pelayanan Publik (IPPP), semakin sedikit pula kebutuhan fiskal (fiscal need). Semakin elastis Pendapatan Asli Daerah (PAD) suatu daerah, maka struktur Pendapatan Asli Daerah (PAD) daerah tersebut semakin baik. Semakin inelastis Pendapatan Asli Daerah (PAD) suatu daerah, maka struktur Pendapatan Asli Daerah (PAD) daerah tersebut semakin buruk.

METODE PEMECAHAN MASALAH

Penulis mengkaji kinerja kemampuan keuangan Provinsi Jawa Tengah selama periode 2004-2008. Kajian ini menggunakan data sekunder dengan jenis data time series yang bersumber dari Badan Pemeriksa Keuangan untuk kurun waktu 2004-2008.


PEMBAHASAN

Anggaran merupakan pedoman tindakan yang akan dilaksanakan pemerintah meliputi rencana pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan yang diukur dalam satuan rupiah,yang disusun menurut klasifikasi tertentu secara sistematis untuk satu periode. Pendapatan adalah semua penerimaan Rekening Kas Umum Negara/Daerah yang menambah ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan yang menjadi hak pemerintah, dan tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah. Belanja adalah semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah.

Laporan Realisasi Anggaran menyediakan informasi mengenai realisasi pendapatan, belanja, transfer, surplus/defisit, dan pembiayaan dari suatu entitas pelaporan yang masing-masing diperbandingkan dengan anggarannya. Informasi tersebut berguna bagi para pengguna laporan dalam mengevaluasi keputusan mengenai alokasi sumber-sumber daya ekonomi, akuntabilitas dan ketaatan entitas pelaporan terhadap anggaran. Laporan Realisasi Anggaran menyediakan informasi yang berguna dalam memprediksi sumber daya ekonomi yang akan diterima untuk mendanai kegiatan pemerintah pusat dan daerah dalam periode mendatang dengan cara menyajikan laporan secara komparatif. Laporan Realisasi Anggaran menyajikan informasi realisasi pendapatan, belanja, transfer, surplus/defisit dan pembiayaan, yang masing-masing diperbandingkan dengan anggarannya dalam satu periode. Dalam Laporan Realisasi Anggaran harus diidentifikasikan secara jelas, dan diulang pada setiap halaman laporan, jika dianggap perlu, informasi berikut:
1. nama entitas pelaporan atau sarana identifikasi lainnya;
2. cakupan entitas pelaporan;
3. periode yang dicakup;
4. mata uang pelaporan; dan
5. satuan angka yang digunakan

Tujuan pelaporan realisasi anggaran adalah memberikan informasi tentang realisasi dan anggaran entitas pelaporan secara tersanding. Penyandingan antara anggaran dan realisasinya menunjukkan tingkat ketercapaian target-target yang telah disepakati antara legislatif dan eksekutif sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Laporan realisasi anggaran mengungkapkan kegiatan keuangan pemerintah pusat / daerah yang menunjukkan ketaatan terhadap APBD / APBN. Laporan ini juga menyajikan ikhtisar sumber, alokasi dan penggunaan sumber daya ekonomi yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah dalam satu periode pelaporan.Tujuan pelaporan realisasi anggaran adalah memberikan informasi tentang realisasi dan anggaran entitas pelaporan secara tersanding. Penyandingan antara anggaran dan realisasinya menunjukkan tingkat ketercapaian target – target yang telah disepakati antara legislatf dan eksekutif sesuai dengan peraturan perundang – undangan.

Laporan Realisasi Anggaran disajikan sekurang- kurangnya sekali dalam setahun. Dalam situasi tertentu tanggal laporan suatu entitas berubah dan Laporan Realisasi Anggaran tahunan disajikan dengan suatu periode yang lebih panjang atau pendek dari satu tahun, entitas mengungkapkan informasi sebagai berikut: (a) alasan penggunaan periode pelaporan tidak satu tahun; (b) fakta bahwa jumlah-jumlah komparatif dalam Laporan Realisasi Anggaran dan catatan-catatan terkait tidak dapat diperbandingkan. Laporan Realisasi Anggaran disajikan sedemikian rupa sehingga menonjolkan berbagai unsure pendapatan, belanja, transfer, surplus/defisit, dan pembiayaan yang diperlukan untuk penyajian yang wajar. Laporan Realisasi Anggaran menyandingkan realisasi pendapatan, belanja, ransfer, surplus/defisit, dan pembiayaan dengan anggarannya. Laporan Realisasi Anggaran dijelaskan lebih lanjut dalam Catatan atas Laporan Keuangan yang memuat hal-hal yang mempengaruhi pelaksanaan anggaran seperti kebijakan fiskal dan moneter, sebab-sebab terjadinya perbedaan yang material antara anggaran dan realisasinya, serta daftar-daftar yang merinci lebih lanjut angka-angka yang dianggap perlu untuk dijelaskan. Laporan Realisasi Anggaran sekurang-kurangnya mencakup pos-pos sebagai berikut: (a) Pendapatan; (b) Belanja; (c) Transfer; (d) Surplus atau deficit; (e) Penerimaan pembiayaan; (f) Pengeluaran pembiayaan; (g) Pembiayaan neto; dan (h) Sisa lebih/kurang pembiayaan anggaran (SiLPA / SiKPA)
Jenis-jenis indikator kinerja yaitu dalam pendekatan proses pencapaian sasaran menurut fungsi belanja tersebut, memerlukan identifikasi indikator-indikator melalui system pengumpulan dan pengolahan data/informasi untuk menentukan capaian tingkat kinerja kegiatan/program. Mendefinisikan target kinerja dalam ukuran yang andal pada kondisi normal merupakan salah satu aspek yang sulit dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja.

Transfer masuk adalah penerimaan uang dari entitas pelaporan lain, misalnya penerimaan dana perimbangan dari pemerintah pusat dan dana bagi hasil dari pemerintah provinsi. Akuntansi pendapatan dilaksanakan berdasarkan azas bruto, yaitu dengan membukukan penerimaan bruto, dan tidak mencatat jumlah netonya (setelah dikompensasikan dengan pengeluaran). Pengembalian yang sifatnya normal dan berulang (recurring) atas penerimaan pendapatan pada periode penerimaan maupun pada periode sebelumnya dibukukan sebagai pengurang pendapatan. Koreksi dan pengembalian yang sifatnya tidak berulang (non-recurring) atas penerimaan pendapatan yang terjadi pada periode penerimaan pendapatan dibukukan sebagai pengurang pendapatan pada periode yang sama.

Pendapatan yang ada pada pemerintah provinsi jawa tengah terdiri dari tiga jenis pendapatan atau penerimaan yaitu :
1. pendapatan asli daerah
pendapatan asli daerah yaitu pendapatan yang dihasilkan oleh daerah tertentu dari hasil pengelolaan sumberdaya alam maupun yang lainnya. Pendapatan asli daerah berupa :
a. pendapatan pajak daerah
b. pendapatan retribusi daerah
c. pendapatan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
d. lain – lain pendapatan asli daerah yang sah
2. Dana Perimbangan
a. Bagi hasil pajak dan bukan pajak
b. Dana alokasi umum
c. Dana alokasi khusus

3. Lain – lain Pendapatan yang sah
a. Pendapatan hibah
b. Pendapatan dana darurat
c. Pendapatan lainnya
d. Dana bagi hasil pajak/retribusi dari provinsi dan pemda lainnya.

Penerimaan Pada Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2004-2008
No Jenis Pendapatan / Penerimaan
2004 2005 2006 2007 2008
1 Pendapatan Asli Daerah 1,865,391,195,285 2,490,643,742,644 2,630,621,265,217 2,932,805,174,711 3,698,843,477,590
2 Dana Perimbangan 789,076,686,943 807,132,657,515 1,185,860,715,632 1,419,342,557,332 1,504,413,993,419
3 Lain - lain Pendapatan yang sah 229,132,000,000 229,063,000,000 1,985,971,300 11,364,864,000 157,138,000


Pada tahun 2004 pendapatan asli daerah di jawa tengah di peroleh dari pajak daerah sebesar 1.602.699.352.834, dari retirbusi daerah memberikan kontribusi sebesar 146.654.204.972, hasil perush. Milik daerah memberikan sumbangsih pendapatan sebesar 12.808.251.080 dan terakhir dari lain – lain yang dipisahkan dengan kontribusi sebesar 103.229.382.399. secara berturut –turut pendapatan yang diterima provinsi jawa tengah cenderung meningkat dan stabil hanya pada tahun 2005 pendapatan yang diterima dari lain – lain PAD yang sah mengalami penurunan sebesar 93.295.730.121 tetapi tiga tahun berikutnya pendapatan ini kembali meningkat dan lebih stabil.


Persentase Kenaikan Pendapatan Provinsi Jawa Tengah
Pendapatan Asli Daerah 33.52 5.62 11.49 26.12
Dana Perimbangan 2.29 46.92 19.69 5.99
Lain - lain Pendapatan
yang sah -0.03 -99.13 472.26 -98.62



Grafik Persentase Kenaikan Pendapatan Provinsi Jawa Tengah

Berdasarkan grafik di atas terliahat pendapatan asli daerah provinsi Jawa Tengah dari tahun ke tahun tampak stabil 0 – 50 % sedangkan lain – lain pendapatan yang sah provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007 terlihat meningkat tajam sebesar 472 %.
Klasifikasi ekonomi merupakan pengelompokan belanja yang didasarkan pada jenis belanja untuk melaksanakan suatu aktivitas. Klasifikasi ekonomi untuk pemerintah pusat yaitu belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain. Klasifikasi ekonomi untuk pemerintah daerah meliputi terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, dan belanja tak terduga.

Belanja operasi merupakan pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari pemerintah pusat/daerah yang memberi manfaat jangka pendek. Belanja operasi antara lain meliputi belanja pegawai, belanja barang, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial. Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan, dan aset tak berwujud.

Belanja lain-lain/tak terduga adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa dan tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam, bencana sosial, dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah pusat/daerah.
Klasifikasi belanja menurut ekonomi (jenis belanja) adalah sebagai berikut:
1. Belanja Operasi:
2. Belanja Pegawai- Belanja Barang
3. Bunga
4. Subsidi
5. Hibah
6. Bantuan Sosial
7. Belanja Modal:
8. Belanja Aset Tetap
9. Belanja Aset Lainnya
10. Belanja Lain-lain/Tak Terduga

Klasifikasi belanja menurut fungsi adalah sebagai berikut:
1. Belanja :
2. Pelayanan Umum
3. Pertahanan
4. Ktertiban dan Keamanan
5. Ekonomi
6. Perlindungan Lingkungan Hidup
7. Perumahan dan Permukiman
8. Kesehatan
9. Pariwisata dan Budaya
10. Agama


Belanja Pada Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2004-2008
No Jenis Belanja
2004 2005 2006 2007 2008
1 Belanja Aparatur Daerah 820,818,976,463 0 0 0 0
2 Belanja Pelayanan Publik 776,353,032,638 0 0 0 0
3 Belanja Operasi 0 1,739,768,572,199 2,595,568,597,834 2,159,144,829,155 2,947,219,006,019
4 Belanja Modal 0 297,464,608,874 209,072,075,386 373,237,100,264 530,106,603,171
5 Belanja Tak Terduga 0 27,342,907,799 26,378,003,802 5,910,902,415 1,024,355,525


Dari table diatas dapat diketahui bahwa dalam laporan realisasi anggaran pemerintah provinsi jawa tengah ada beberapa belanja yang terjadi yaitu :

1. Belanja Aparatur Daerah
dalam belanja aparatur daerah ini meliputi berbagai jenis belanja yaitu :
a. belanja administrasi umum: pada laporan realisasi anggaran pemerintah provinsi jateng belanja ini ada pada tahun 2004 sebesar 544.152.979.737. dan untuk tahun – tahun selanjutnya jenis belanja ini sudah tidak ada lagi. Jenis belanja adminstrasi umum dalam belanja aparatur daerah terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja perjalanan dinas, dan belanja pemeliharaan.
b. Belanja operasi dan pemeliharaan pada laporan realisasi anggaran pemerintah provinsi jateng belanja ini juga hanya ada pada tahun 2004 yaitu 212.077.005.467 dan selanjutnya jenis belanja ini pun tidak muncul kembali. Untuk jenis belanja ini meliputi belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja perjalanan dinas dan belanja pemeliharaan.
c. Belanja modal pada tahun 2004 belanja ini masuk kedalam belanja aparatur daerah tetapi untuk tahun selanjutnya belanja ini dipisahkan, pada tahun 2004 belanja ini mencapai 64.588.991.259

2. Belanja Pelayanan Public
dalam belanja pelayanan public meliputi belanja sebagai berikut :
a. belanja administrasi umum: pada laporan realisasi anggaran pemerintah provinsi jateng belanja ini ada pada tahun 2004 sebesar 113.656.344.859. dan untuk tahun – tahun selanjutnya jenis belanja ini sudah tidak ada lagi. Jenis belanja adminstrasi umum dalam belanja aparatur daerah terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja perjalanan dinas, dan belanja pemeliharaan.
b. Belanja operasi dan pemeliharaan pada laporan realisasi anggaran pemerintah provinsi jateng belanja ini juga hanya ada pada tahun 2004 yaitu 776.353.032.638 dan selanjutnya jenis belanja ini pun tidak muncul kembali. Untuk jenis belanja ini meliputi belanja modal, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan dan belanja tidak tersangka

3. Belanja Operasi
dalam belanja operasi dapat dibagi kedalam berbagai jenis belanja yaitu :
a. belanja pegawai; dalam belanja ini untuk tahun 2005 – 2008 mengalami pembengkakan nilai belanja ini yaitu nilai tertinggi di tahun 2008 sebesar 1.126.079.550.000,- besarnya nilai ini ditimbulkan oleh banyaknya perekrutan tenaga PNS setiap tahunnya dan berbanding dengan kenaikan gaji yang semakin besar tiap tahunnya beserta tunjangannya.
b. Belanja barang; dalam belanja ini nilai belanja terbesar terdapat pada tahun 2006 yaitu sebesar 1.229.031.107.194,- besarnya nilai belanja pada tahun ini disebabkan oleh banyaknya barang -barang yang ada di pemprov jateng sudah tidak layak pakai dan segera di ganti dengan yang baru maka pengeluarannya sangat besar
c. Bantuan sosial ; dalam belanja ini pada tahun 2006 pula adanya besarnya bantuan nya yaitu sebesar 556.223.218.874,- besarnya nilai bantuan social ini ditimbulkan oleh adanya bencana yang terbesar di Indonesia yaitu tsunami maka nilai bantuan begitu besar dikeluarkan oleh pemprov jateng.

d. Belanja hibah ; dalam belanja ini hanya terjadi pada tahun 2007 dan 2008 yaitu msing – msing sebesar 2.625.240.050 dan 385.489.980.026.
e. Belanja bunga ; dalam belanja ini juga terjadi pada tahun 2007 dan 2008 yaitu masing – masing sebesar 1.650.784 dan 331.000; besarnya nilai ini ditimbulkan oleh nilai bunga yang cenderung meningkat.

4. Belanja Modal
dalam belanja modal terdapata beberapa jenis belanja yang ada :
a. belanja tanah; dalam belanja ini pada tahun 2005 pemerintahh provinsi jawa tengah melakukan belanja ini dengan cukup besar disbanding tahun – tahun lainnya yaitu senilai 48.003.455.056,-
b. belanja peraltan dan mesin ;
c. belanja gedung dan bangunan
d. belanja jalan, irigasi dan jaringan
e. bealnja asset tetap lainnya

5. Belanja Tak Terduga
Dalam belanja tak terduga pemerintah provinsi jawa tengah tahun 2004 – 2008 terjadi peningkatan yang sangat besar pada tahun 2007 yaitu sebesar 5.910.902.415,- belanja ini digunakan untuk keperluan yang tidak dianggarkan selama periode tersebut oleh pemerintah tersebut
Persentase Kenaikan Belanja Provinsi Jawa Tengah

Belanja Aparatur
Daerah -100.00 0.00 0.00 0.00
Belanja Pelayanan
Publik -100.00 0.00 0.00 0.00
Belanja Operasi 0.00 49.19 -16.81 36.50
Belanja Modal 0.00 -29.72 78.52 42.03
Belanja Tak
Terduga 0.00 -3.53 -77.59 -82.67



Grafik Belanja Kenaikan Pendapatan Provinsi Jawa Tengah



Berdasarkan grafik di atas terlihat belanja aparatur daerah provinsi Jawa Tengah dan belanja pelayanan public provinsi Jawa Tengah hanya terjadi ditahun 2004 saja. Belanja operasi provinsi Jawa Tengah dari tahun ke tahun kenaikannya sangat unstabil naik turun berkiran angka -20 % - 50 %. Belanja modal provinsi Jawa Tengah dari tahun ke tahun pun kenaikannya sangat unstabil naik turun berkiran angka -30 % - 80 %. Dan belanja tak terduga provinsi Jawa Tengah dari tahun ke tahun pun terus menurun dari 0 sampai dengan 82 %.


Selisih Pendapatan Dan Belanja Pemerintah Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2004 – 2008

No Keterangan Selisih Pendapatan dan Belanja
2004 2005 2006 2007 2008
1 Pendapatan 2,883,599,878,228 3,526,839,400,159 3,818,467,952,149 4,363,512,596,043 5,203,414,609,009
2 Belanja 2,572,554,358,908 2,064,576,088,872 2,831,018,677,022 2,538,292,831,834 3,478,349,964,715
Selisih Lebih 311,045,519,320 1,462,263,311,287 987,449,275,127 1,825,219,764,209 1,725,064,644,294

Dari table diatas dapat diketahui bahwa nilia pendapatan yang diterima oleh pemerintah provinsi jawa tengah terus mengalami kenaikan yang sangat besar yaitu di tahun 2008 menunjukkan angka senilai 5.203.414.609.009,- nilai ini diterima tertinggi pada pendapatan pajak daerah yang meningkat hampir 50% dari tahun sebelumnya dan pendapatan dari hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan pada tahun 2008 meningkat hampir 40% yaitu dengan nilia 131.234.435.000,-

Untuk belanja yang dilakukan oleh pemerintah provinsi jawa tengah tahun 2004 – 2008 mengalami belanja tertinggi pada tahun 2008 yaitu senilia 3.478.349.964.715,- belanja yang prosentase tertinggi ada pada jenis belanja jalan, irigasi dan jaringan, belanja ini menunjukkan tingkat kinerja yang bagus karena jalan yang lebih baik akan mempengaruhi sarana pemenuhan kebutuhan ekonomi pada masyarakat karena akan menjadikan arus perdagangan meningkat. Untuk irigasi ini diperlukan karena sumber daya pertanian memerlukan tata pengairan yang tepat sasaran dan bermanfaat luas bagi petani agar produksi yang dihasilkan terus mengalami peningkatan. Sedangkan untuk jaringan perkembangan kinerja yang ditunjukkan adalah dengan meningktnya system dunia maya atau internat agar kebutuhan informasi bagi pemerintah provinsi jawa tengah dapat terpenuhi dengan cepat dan tepat sasaran, jaringan ini digunakan juga untuk meningkatkan pendidikan bagi masyarakatnya.

Persentase Kenaikan Selisih Lebih Pendapatan dan Belanja
Provinsi Jawa Tengah

Selisih Lebih 370.11 -32.47 84.84 -5.49

Grafik Persentase Kenaikan Selisih Lebih Pendapatan dan Belanja
Provinsi Jawa Tengah



Berdasarkan grafik di atas terlihat persentase kenaikan selisih lebih provinsi Jawa Tengah dari tahun ke tahun selisih lebih yang di dapatkan terbesar adalah naik 370 %
KESIMPULAN

Berdasarkan analisis laporan keuangan pemerintah provinsi jawa tengah tahun 2004 – 2008 diatas bias diketahui bahwa secara umum sudah banyak pendapatan/penerimaan yang diperoleh oleh pemerintah provinsi jawa tengah baik dari pihak ketiga maupun dari pihak pemerintah, dan setiap tahunnya terjadi peningkatan penerimaan/pendapatan hal ini menunjukkan bahwa pemerintah memberi kepercayaan pada pemerintah provinsi jawa tengah untuk mengelola keuangan yang lebih besar Karena seiring dengan adanya perkembangan jawa tengah yang semakin pesat.

Belanja Pemerintah Provinsi Jawa Tengah juga terus melaju dengan berbagai jenis pembiayaan yang sangat bervariasi, meski terus berfluktuasi tetapi kinerja yang dihasilkan juga terus berkembang yang ditunjukkan dengan penerapan pada perkembangan irigasi, jaringan dan transportasi. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah mengurangi belanja tak terduga dengan tahun ke tahun presentase kenaikan jenis belanja tersebut terus menurun.

Jadi secara umum pemerintah Provinsi Jawa Tengah sudah menerapkan kinerja keuangan yang cukup bagus tetapi tidak menutup kemungkinan terjadinya kesalahan dalam belanja – belanja yang tidak perlu dilakukan, maka kedapannya pemerintah provinsi jawa tengah harus bias mengefektifkan belanja yang harus dilakukan agar pencapaian good governance bias tercapai.

KETERBATASAN RISET

Penulis dalam menilai kinerja Provinsi Jawa Tengah hanya melakukan analisis terhadap laporan keuangan tahun 2004 – 2008 terbatas pada penilaian terhadap laporan realisasi anggaran, jadi hasil penulis terfokus pada sisi pendapatan dan belanja pemerintah provinsi jawa tengah, penulis melakukan ini memandang segi pendapatan dan belanja merupakan salah satu bidang pokok yang harus di capai, dengan pendapatan/penerimaan yang tinggi maka dana yang dimiliki juga semakin tinggi dan dengan belanja yang efektif dan efisien bias menjadikan penghematan dari pembiayaan pemerintah.

Karena sektor pajak belum menjadi sektor yang diprioritaskan dalam upaya peningkatan PAD, sehingga sektor pajak belum tergali dan terkelola secara optimal, maka perlu diupayakan peningkatan PAD baik secara intensifikasi maupun ekstensifikasi.

No comments: